Tak perlu aku ungkapkan dengan lisanku,
kalau aku mengagumimu —
cukup lewat bait-bait sunyi ini,
yang lahir dari hati, tanpa perlu diminta.
Aku pandangmu dari kejauhan,
seperti langit menatap laut,
tak bersentuhan, namun saling tahu,
bahwa ada rasa yang tak butuh pengakuan.
Kau takkan pernah mendengar bisikku,
tapi semoga kau membaca rasa ini
di setiap jeda kata,
di setiap diam yang menyimpan makna.
Aku menulismu dalam diamku,
dengan tinta kekaguman yang tak lekang,
sebab kadang perasaan paling tulus,
hanya ingin hadir — bukan dimiliki.
Karena terlalu liar fantasi untuk memiliki,
Kunikmati pertemuan dan perjalan ini.
Kau terlukis Tanpa Suara"
Tak perlu aku ungkapkan dengan lisanku,
kalau aku mengagumimu,
cukup lewat bait ini
yang ku rajut dari helai-helai rasa.
Kau adalah hujan pertama setelah kemarau,
mendinginkan, menyentuh, tapi tak membasahi terlalu dalam.
Aku menatapmu seperti senja —
tak pernah lama, tapi selalu ditunggu.
Rasaku tak ingin gaduh,
hanya ingin menjadi lagu latar
yang menemani langkahmu
meski kau tak sadar aku ada
"Tak Terucap,
Tak perlu aku ungkapkan dengan lisanku,
kalau aku mengagumimu.
Bukan karena aku takut,
tapi karena aku tahu — ini bukan untuk dimiliki.
Karena aku takut kehilangan bila di ucapkan
Aku menyimpanmu seperti syair lama,
yang dibaca diam-diam saat rindu datang.
Kau tak perlu tahu siapa aku
seperti angin tak perlu tahu siapa yang dihembus.
Aku mengagumimu bukan karena ingin,
tapi karena kau layak untuk dikagumi,
meski bukan olehku —
meski hanya dari jauh,
meski hanya sebatas diam
Tanpa Suara
Tak perlu aku bilang,
aku mengagumimu.
Cukup baris kata ini,
cukup satu pandang
yang selalu aku curi
saat kau tak sadar.
Tak usah tanya kenapa,
karena kadang rasa
cukup ada —
tanpa harus punya.