Meski ku bukan pujangga
Bukan seorang sastra
Aku coba lukiskan dirimu
dalam bait-bait tulisanku,
Dengan tinta rindu dan kertas waktu.
Setiap kata adalah garis wajahmu,
Setiap jeda adalah tatap matamu.
Dalam larik sunyi kutemukan senyummu,
Mengalir lembut seperti senandung senja.
Tak perlu kanvas, tak perlu warna,
Sebab puisiku cukup menampung pesonamu yang nyata.
Kau hadir sebagai metafora paling indah,
Dalam tiap bait yang enggan aku akhiri.
Bahkan diam pun kutulis tentangmu,
Agar kau abadi, meski hanya dalam tulisan tak bermakna ini.
Aku lukiskan dirimu dalam bait-bait tulisanku
Sebab matamu terlalu indah untuk hanya dikenang.
Setiap senyum yang pernah kautitip di pagi,
Menjadi sajak yang tak pernah habis kuhafal.
Kau adalah alasan huruf-hurufku menari,
Adalah nada dari sunyi yang jadi harmoni.
Dalam tiap tulisan ini, aku mengabadikanmu diam-diam,
Agar cinta ini tak lenyap ditelan malam.
Aku lukiskan dirimu dalam bait-bait tulisanku
Karena hanya pena yang tak pernah meninggalkanku.
Ku tak bisa terlalu dekat denganmu, namun namamu tetap tinggal di dekatku.
Dalam tiap sajak yang kutulis tanpa suara.
Kau tak tahu, setiap huruf ini adalah air mata,dari gejolak rindu dan mengagumi
Yang mengering menjadi rima dan jeda.
Meski kau tak akan pernah membaca,
Aku terus menulis, agar rasa ini tak sia-sia
Aku lukiskan dirimu dalam bait-bait tulisanku
Karena manusia tak bisa benar-benar mengerti sesamanya,
Tapi dalam huruf hurufku, aku bisa mendekap bayangmu
Lebih dekat dari tubuh, lebih jujur dari kata-kata.
Kau bukan hanya inspirasi,
Kau adalah pertanyaan yang tak pernah selesai kutulis.
Di antara metafora dan irama,
Dirimu hidup sebagai makna yang tak mudah diurai.
Terimakasih tuhan
Terimakasih yang di sana