Malam yang Tak Pernah Usai
Suatu kisah di bumi perkemahan
Suara gitar mengalun pelan di tengah lingkaran api unggun. Beberapa anggota DKA bergantian menyanyikan lagu pramuka, diselingi pantun dan candaan yang membuat tawa pecah ke segala arah. Malam itu penuh riuh, tapi tidak ada yang benar-benar mendengar detak jantung Joe yang semakin cepat.
Di seberang lingkaran, Wida duduk bersisian dengan widji. Wajahnya disinari cahaya api yang berpendar, membuat jilbab sederhana yang ia kenakan terlihat lebih lembut dari biasanya. Sesekali ia tertawa kecil, menutup mulutnya dengan tangan, dan setiap kali itu terjadi, dada Joe seperti terbakar.
"Giliranmu, Joe!" teriak Sulis, menyodorkan secarik kertas puisi yang sudah disiapkan.
Joe mengangguk. Ia berdiri, mencoba terlihat santai meski lututnya sedikit gemetar. Dengan suara yang tak begitu lantang, ia membaca bait demi bait puisi yang ia tulis siang tadi. Kata-kata itu melayang ke udara malam, dan entah bagaimana, ia merasa hanya Wida yang benar-benar mendengarnya.
Ketika semua kembali larut dalam lagu dan tawa, Joe pelan-pelan bangkit. Ia berjalan ke sisi lapangan, pura-pura ingin mengambil air minum. Saat menoleh, matanya bertemu dengan Wida. Ada jeda singkat, lalu gadis itu ikut bangkit, menyusul dengan alasan yang sama.
Mereka bertemu di pinggir bumi perkemahan, di dekat pohon pinus yang menjulang diam. Cahaya api unggun hanya terlihat samar dari sana, cukup jauh agar tidak ada yang memperhatikan.
“Hm… puisinya bagus,” ucap Wida, suaranya lirih, seolah takut merusak kesunyian.
Joe menelan ludah. “Kamu dengar?”
“Tentu saja. Aku suka… sederhana, tapi dalam.”
Hening sebentar. Angin malam membawa dingin yang menusuk, tapi entah mengapa Joe merasa hangat. Ia ingin berkata banyak hal—tentang betapa setiap kata puisi itu lahir karena dirinya selalu menatap Wida dari jauh. Tapi lidahnya kelu.
Yang akhirnya keluar hanyalah, “Terima kasih… sudah mendengarkan.”
Wida tersenyum. Senyum itu membuat malam berhenti sejenak.
Tak ada janji yang terucap, tak ada keberanian Joe untuk mengaku lebih. Tapi bagi keduanya, percakapan singkat itu sudah cukup. Itu rahasia kecil yang hanya mereka tahu, tersimpan rapi di bawah langit penuh bintang.
Ketika mereka kembali ke lingkaran api unggun, tak seorang pun sadar bahwa malam itu telah mencatat sebuah kisah—kisah kecil yang diam-diam akan menjadi luka manis di masa depan.
: Renungan Malam
Api unggun padam, hanya menyisakan bara merah yang sesekali berdesis diterpa angin. Semua anggota ambalan duduk melingkar, hening. Malam itu adalah saat renungan, momen paling sakral di setiap kegiatan perkemahan.
Di depan, Kak Pembina bercerita pelan tentang arti perjuangan, persaudaraan, dan pengorbanan. Suaranya berat, tenang, membuat sebagian adik-adik ambalan mulai tertunduk, bahkan ada yang menangis diam-diam.
Joe duduk di barisan pengurus DKA. Sisi kanannya ada Ahmad, sisi kirinya… Wida. Betapa malam itu terasa berat baginya, karena jarak yang hanya beberapa jengkal justru terasa sejauh berpuluh langkah. Ia bisa mendengar helaan napas Wida, bisa mencuri pandang dari ekor mata, tapi tidak bisa menoleh. Tidak boleh.
Karena di momen renungan ini, semua orang seharusnya larut dalam hening.
Namun bagi Joe, hening justru jadi ujian. Setiap kata pembina seakan menohok hatinya: tentang keberanian, tentang kejujuran, tentang rasa yang kadang harus dipendam demi tanggung jawab.
Sementara itu, Wida duduk diam menunduk. Jemarinya meremas ujung syalnya. Ada sesuatu dalam suaranya tadi ketika menyapa Joe di pinggir bumi perkemahan—sesuatu yang tidak bisa ia hilangkan dari pikirannya. Tapi sebagai bagian DKA, ia tahu ia harus menahan diri. Ia tidak boleh larut terlalu jauh.
Seusai renungan, semua peserta diarahkan untuk kembali ke tenda masing-masing. Beberapa masih terlihat menyeka air mata. DKA bertugas memastikan adik-adik masuk tenda dengan tertib.
Joe berjalan beriringan dengan Ahmad, sesekali menepuk bahu adik kelas yang tampak lesu. Dari jauh, ia melihat Wida sedang menenangkan dua siswi yang terisak, menepuk punggung mereka dengan lembut. Pemandangan itu kembali menusuk dada Joe—betapa wajar, betapa sederhana, tapi juga betapa mustahil baginya untuk mengaku.
Saat semua mulai reda, DKA berkumpul sebentar di bawah pohon pinus. Obrolan ringan mewarnai malam, sebelum akhirnya mereka pun bubar menuju tenda khusus pengurus.
Joe sempat melirik Wida, dan—tanpa direncanakan—mata mereka bertemu. Tak ada kata yang terucap, tapi ada semacam isyarat di sana: bahwa malam renungan itu telah menyimpan rahasia lain, yang hanya mereka berdua mengerti.
Bara yang Menyimpan Rahasia
Malam semakin larut. Bara api unggun yang tersisa berpendar merah, seakan enggan benar-benar mati. Suara jangkrik mengisi kesunyian, sementara kabut tipis turun dari perbukitan, membalut bumi perkemahan dengan dingin yang menggigit.
Di lingkaran yang kini sepi, hanya tersisa beberapa orang—Joe, Ratno,Ahmad, Zulis, dan Phur. Mereka adalah tim keamanan malam itu, bagian dari DKA yang harus berjaga hingga dini hari.
“Dingin juga ya…” gumam Ahmad sambil merapatkan jaket pramukanya. Ia duduk bersila, menatap bara api yang sesekali berdesis.
“Kalau dingin, push up aja, Mad. Biar hangat,” celetuk Zulis, membuat yang lain tertawa pelan, menahan suara agar tidak membangunkan adik-adik yang sudah tertidur di tenda.
Namun tawa itu cepat reda. Malam memang punya cara sendiri untuk menundukkan semua suara. Akhirnya mereka hanya saling bercerita pelan, dari hal remeh sampai candaan yang tak sempat diucapkan saat ramai.
Joe duduk sedikit melamun, menatap api yang meredup. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Wida sedang berbincang dengan Wati. Sesekali cahaya bara menyentuh wajahnya, menampilkan siluet lembut yang membuat Joe harus menunduk cepat-cepat. Ia takut ketahuan terlalu lama menatap.
“Eh, Joe, giliran kamu nanti keliling pos jam dua, ya,” ujar ratno, memecah lamunannya.
Joe tersenyum dan mengangguk. “ok Siap.”
Sementara itu, waktu berjalan pelan. Sesekali suara angin menggoyangkan daun pinus, menambah dingin yang semakin menusuk. wida, Wulan,widji berjalan ikut nimbrung sebentar di bara api unggun. Hanya ada bara api di antara mereka. Hening yang terjaga membuat setiap detik terasa panjang.
Saat Joe berjalan mengumpulkan dedaunan kering sampai di dekat Wida.
“Masih kepikiran renungan tadi?” suara Wida tiba-tiba terdengar, lirih, seakan hanya ditujukan untuk Joe.
Joe terdiam sesaat, lalu menjawab pelan, “ya bisa jadi, kayaknya malam ini banyak yang bakal diingat orang, termasuk aku.”
Wida mengangguk samar. “Aku juga.”
Tak ada kata cinta, tak ada janji manis. Hanya percakapan pendek yang hampir tenggelam oleh suara jangkrik. Tapi bagi Joe, kalimat sederhana itu lebih berharga daripada seribu nyanyian api unggun.
Bara api kian padam, hanya menyisakan cahaya samar yang nyaris hilang. Namun justru di sana, diam-diam tersimpan percikan lain—yang tak pernah benar-benar padam di hati mereka.
Patroli Tengah Malam
Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul dua lewat sedikit. Suara jangkrik makin nyaring, dan hawa dingin kian menusuk tulang. Joe menarik napas panjang, merapikan jaket parasutnya, lalu berdiri dari lingkaran bara api yang hampir padam.
“Giliranmu, Jo,” bisik Ahmad setengah mengantuk, masih berselimut sarung di dekat api.
Joe berdiri “ Oke.., aku keliling sebentar.”
Dengan senter kecil di tangannya, ia berjalan menyusuri jalur tenda. Cahaya lampu petromaks yang tergantung di beberapa titik sudah meredup, menyisakan bayangan tenda-tenda yang tampak seperti gundukan sunyi. Sesekali ia mendengar suara helaan napas teratur dari dalam—para adik ambalan yang lelap, tak tahu ada sepasang mata remaja yang penuh resah tengah berjaga di luar.
Di dekat pohon pinus, langkahnya terhenti. Ada seseorang berdiri, memeluk kedua lengannya sendiri. Joe sempat terkejut, lalu cahaya senter membias ke wajah itu.
“Wida?” suaranya tercekat.
Gadis itu menoleh, tersenyum samar. “Iya. Aku nggak bisa tidur… jadi sekalian nemenin piket.”
Joe berusaha menahan debar dadanya. Ia menunduk, lalu tersenyum kecil. “Harusnya istirahat. Besok kan padat.”
“Justru itu,” jawab Wida pelan, “aku pengen lihat malamnya dulu… siapa tahu nggak bisa aku rasain lagi.”
Hening. Hanya ada desir angin yang menggoyang dedaunan. Joe berdiri canggung, sementara Wida menatap langit yang penuh bintang.
“Bagus ya,” katanya lirih, “malamnya tenang… kayak semua rahasia bisa dititipin di langit.”
Joe ikut menatap ke atas. “Iya… kadang langit jadi saksi hal-hal yang nggak bisa kita omongin ke siapa-siapa.”
Wida menoleh, seakan ingin memastikan arti kata-katanya. Tapi Joe buru-buru memalingkan wajah, pura-pura sibuk menyorot tanah dengan senter. Ia takut sorot matanya membocorkan sesuatu yang selama ini disimpan rapat.
Mereka berjalan berdua, menyusuri jalur di antara tenda. Tak banyak bicara, hanya langkah yang beriringan pelan. Sesekali Wida tersenyum kecil, dan Joe tahu, senyum itu sudah cukup untuk membuat malam terasa hangat, meski udara begitu dingin.
Di dekat ujung lapangan, mereka berhenti. Joe mematikan senter sebentar, membiarkan mata mereka menyesuaikan diri dengan cahaya bintang. Sunyi sekali, hingga suara jantungnya sendiri terdengar lebih keras dari biasanya.
“Joe…” suara Wida nyaris berbisik. “Makasih ya… udah berani nulis puisi malam itu. Aku ngerti, meskipun kamu nggak bilang siapa yang sebenarnya kamu maksud.”
Joe tercekat. Ia ingin menjawab, ingin mengaku, ingin menyebut namanya saat itu juga. Tapi kata-kata terhenti di tenggorokan. Yang akhirnya keluar hanya, “Aku cuma… pengen ada yang dengar.”
Wida tersenyum lagi, senyum yang samar tapi menenangkan. “Dan aku dengar.”
Sejenak, waktu berhenti. Hanya ada mereka berdua, malam, dan rahasia yang menggantung di udara.
Lalu Wida menoleh ke arah tenda. “Ayo balik, udah dingin banget. Nanti dikira kita malah keluyuran.”
Joe mengangguk pelan. Mereka berjalan kembali, meninggalkan pohon pinus, meninggalkan percakapan yang terasa singkat tapi takkan pernah benar-benar hilang dari ingatan.
Pagi yang Menggoda Rahasia
Matahari muncul perlahan, menyingkap kabut tipis yang semalam membungkus bumi perkemahan. Suara adzan subuh sudah lama lewat, kini yang terdengar hanya hiruk-pikuk adik-adik ambalan yang mulai menggulung matras, merapikan tenda, dan sibuk mencari barang-barang yang tercecer.
Joe berdiri di dekat tiang bendera, mengecek catatan kegiatan terakhir. Sesekali ia menegur adik kelas yang malas-malasan. Wajahnya tampak serius, tapi di dalam hatinya, masih ada sisa malam tadi—percakapan singkat bersama Wida di bawah pinus.
Wida lewat sambil membawa termos besar untuk membagi teh hangat. Jilbabnya agak kusut karena begadang, tapi justru membuat wajahnya terlihat lebih alami. Joe tanpa sadar menatap beberapa detik terlalu lama.
“Woy, Jo!” suara tiba-tiba mengejutkan dari belakang. Phur sudah berdiri sambil menyeringai lebar. “Kalau liat teh sampai segitunya, mending sekalian bilang haus.”
Ahmad yang duduk di akar pohon tertawa keras. “Haus apa rindu, Mad?” katanya menimpali, disambut tawa yang ditahan-tahan oleh Zulis.
Joe langsung gelagapan. “Heh, kalian ini ngawur… aku cuma lihat jalannya aja, takut jatuh bawa termos segede gitu.”
“Alasannya mulus banget, kayak jalan aspal,” celetuk Zulis sambil menepuk bahu Joe.
Sementara itu, Wida yang mendengar celetukan itu hanya tersenyum samar. Ia pura-pura sibuk menuang teh ke gelas-gelas plastik, tapi pipinya sedikit merona.
Sulis ikut menimpali dengan suara sengau, menirukan gaya pembina, “Ingat ya, adik-adik… DKA harus sigap, tapi juga harus kompak pasangan tim-nya.”
Tawa pecah lagi. Joe menunduk, menahan senyum, mencoba tampak tak terganggu. Tapi di dadanya, perasaan itu justru makin bergejolak.
Di tengah hiruk-pikuk penutupan, di antara celetukan yang menggoda, Joe tahu satu hal: rahasia kecil semalam ternyata tak serapat yang ia kira. Ada mata-mata usil yang memperhatikan, ada senyum yang tahu, tapi tidak benar-benar mengungkap.
Dan entah mengapa, justru itu membuatnya semakin yakin bahwa malam di bawah pinus—meski singkat—telah meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus.