Jumat, 01 Agustus 2025

"Joe Kecil dan Langit yang Tak Pernah Marah"

Namanya Joe. Tubuhnya kecil mungil, tak lebih tinggi dari ujung papan tulis kelas 3 SD tempat ia belajar mengeja dan menghitung. Tapi dunia tidak pernah sekecil tubuhnya. Dunia begitu luas... dan kejam.

Waktu itu, usia Joe belum genap sepuluh tahun saat rumah tangga orang tuanya runtuh seperti bangunan reyot yang roboh ditiup angin. Ayah dan ibunya berpisah. Dan sejak itu, Joe seolah ikut terbelah. Separuh dirinya hilang. Tak ada lagi tawa di meja makan, tak ada lagi kehangatan dalam peluk ibu, bahkan suara ayah pun tinggal gema samar yang tak pernah benar-benar pulang.

Hari-hari Joe berubah menjadi abu-abu. Di sekolah, ia bukan siapa-siapa—atau malah lebih buruk: ia jadi sasaran.

“Eh, itu anak yang nggak punya bapak!”
“Pasti anak nakal makanya ditinggal!”
“Jangan main sama dia, nanti jadi kayak dia!”

Ejekan itu datang silih berganti, seperti angin malam yang dingin tak henti-henti. Joe hanya bisa menunduk. Ia tak cukup besar untuk melawan. Bahkan untuk menangis pun ia sembunyikan di balik lengan seragam putihnya yang mulai lusuh.

Setiap hari ia duduk paling belakang. Teman sebangkunya berganti-ganti, tapi kebanyakan memilih pindah dengan alasan “nggak nyaman”. Guru pun sering tak peduli. Kalau nilai Joe jelek, ia dibentak. Kalau Joe tak bawa PR, langsung dihukum berdiri. 
Yah semua menganggapnya bodoh, Tak ada yang bertanya kenapa.
Sejatinya pertanyaan pertanyaan lisan guru Joe bisa jawab, tapi enggan menjawab, karena kepercayaan oranglain kepada nya udah g ada.

 
Hari demi hari sering di lalui sendirian, bermain di sawah sendirian, 

Di rumah, ibunya sibuk bekerja. Kadang pulang malam. membatu buat masak aneka jajanan ditetangga. Joe makan seadanya, kadang cuma nasi dingin dengan garam bersama kakak dan adik nya. Ia tidur sendirian, menatap atap yang retak, berharap langit malam sudi mendengar isi hatinya.

Tapi langit tak pernah marah.

Itulah satu-satunya hal yang membuat Joe betah memandang malam. Di saat semua orang mencibir dan mencaci, langit tetap membentangkan bintang. Tak pernah menyindir. Tak pernah menghakimi. Bahkan saat ia menangis diam-diam, langit seolah berkata: "Tak apa, Joe... semua akan berlalu."

Namun luka yang tertanam sejak kecil, tak mudah sembuh.
Bahkan dalam benak nya ingin membalas dengan cara yg extreme 

Dalam diam, Joe menyimpan dendam. Ia membenci dunia. Ia mencoret semua rasa sakitnya dalam buku tulis bergambar kartun. Bukan puisi, bukan cerita—tapi potongan-potongan doa dan amarah. Kadang ia terbesit motivasi diri:
"Aku akan buktikan aku bisa. Tapi aku tidak akan memaafkan mereka."

Tahun demi tahun berlalu. Tapi kisah ini belum sampai akhir. Sebab Joe masih kecil, dan masa depannya masih jauh. Tapi satu hal pasti: di dalam dirinya tumbuh sebuah tekad. Tekad untuk menjadi lebih dari sekadar korban. Untuk tak lagi jadi lelucon di mata teman-teman.

Joe tahu, hidup tak adil. Tapi dia juga tahu, orang-orang kuat lahir dari luka yang dalam.

Dan langit malam masih tetap tak marah.



Joe Kecil dan Langit yang Mulai Cerah (Bagian 2 – Masa SMP)

Hidup kadang seperti alur sungai, mengalir ke arah yang tak bisa ditebak. Setelah lulus SD, Joe tak langsung bisa masuk SMP. Ibunya yang bekerja siang malam, akhirnya menyerah.

“Maaf, Nak… Ibu belum mampu,” katanya sambil menggenggam tangan Joe yang mulai kasar karena sering bantu angkat galon dan menyapu di rumah tetangga.

Hari-hari berlalu dalam penantian. Namun takdir memberi jalan lain. Suatu malam, ayah Joe datang. Membawa tawaran yang terdengar seperti pilihan yang tak bisa ditolak: tinggal bersamanya dan istri barunya.

Joe tak langsung menjawab. Hatinya penuh luka dan keraguan. Tapi ia tahu satu hal—ia ingin sekolah. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya tak bodoh, tak hina seperti kata guru dan teman-temannya dulu. Maka ia mengangguk, meski dengan perasaan yang getir.


---

Masa baru, rasa lama

Rumah ayahnya tak besar, tapi cukup layak. Ibu tiri Joe tidak kasar, tapi dingin. Semua serba canggung. Ia diperlakukan seperti “anak tamu”. Makan terakhir, cuci piring sendiri, dan kalau bisa jangan banyak bicara.

Meski begitu, Joe tidak melawan. Ia tahu betul: hidup bukan tempat minta dimanja. Ia telan semua rasa tidak nyaman itu dengan kepala tertunduk, tapi hati tegak. Dalam diamnya, tumbuh sebatang keyakinan: “Aku akan berubah. Aku akan tumbuh.”

Saat masuk SMP, dunia Joe sedikit berbeda. Tak ada lagi ejekan "anak dari keluarga berantakan", sebab tak banyak yang tahu masa lalunya. Ia mulai dari nol. Kali ini, ia berjanji: jangan biarkan masa lalu merusak masa depan.

Teman-temannya di SMP lebih ramah. Tak semua baik, tapi setidaknya tak ada yang melempar kertas ke kepalanya atau mencoret-coret bukunya. Ia mulai bisa tersenyum, meski tipis. Ia duduk di bangku tengah, bukan di pojok sendirian lagi.

Di kelas, Joe bukan anak terpintar. Tapi ia bukan anak paling bodoh juga. Ia belajar diam-diam, lebih keras dari yang lain. Ia rela bangun lebih pagi, tidur lebih larut. Ia ulang materi pelajaran sendiri, kadang sambil mencatat pakai buku sisa SD.

Dan hasilnya mulai terlihat.

Namanya sering muncul di lima besar. Bahkan guru-guru mulai melirik, "Eh, kamu pintar juga ya, Joe."

Tapi Joe hanya tersenyum kecil. Ia tidak haus pujian. Ia hanya ingin satu hal: harga diri. Ia ingin membuktikan pada semua yang pernah mencibir, bahwa ia bukan sampah seperti yang dulu sering mereka tuduhkan.

Di perpustakaan, ia mulai mengenal buku. Di buku, ia temukan dunia yang tidak pernah menyalahkan siapa orang tuamu. Dunia yang tak peduli siapa ibumu, siapa ayahmu. Dunia yang hanya peduli: maukah kamu belajar?