Jumat, 22 Agustus 2025

BUPER...




Kesempatan di Bawah Bintang

Di antara tenda-tenda yang berdiri gugup,
dan lampu petromaks yang bergetar diterpa angin,
seorang remaja pria menyembunyikan degup,
dalam dada yang resah oleh malam dan bising.

Api unggun menyala, riuh sorak pecah,
tawa teman-teman jadi tirai pelindung.
Namun matanya hanya mencari satu arah,
wajah itu—yang disinari cahaya redup api, begitu agung.

Maka dicurinya kesempatan kecil,
saat langkah-langkah lain menjauh ke kegelapan.
Sebuah sapa lirih, nyaris tak terdengar angin,
tapi cukup untuk membuat hatinya hangat seketika.

Tak ada janji, tak ada kata cinta terang-terangan,
hanya sekilas senyum yang terbalut malu.
Namun bagi remaja itu,
itulah keberanian terbesar—
mencuri sepotong keabadian dari malam perkemahan.


....................

.....

Malam yang Tak Pernah Usai

Di bumi perkemahan itu,
di mana embun turun perlahan
menyelimuti rerumputan basah,
aku hanyalah remaja biasa
yang diam-diam menantikan keajaiban kecil.

Api unggun menyala,
nyala oranye menari di wajah teman-teman
yang sibuk bernyanyi, berpantun,
menertawakan malam agar tak terasa dingin.
Namun mataku tak pernah bisa berpaling,
hanya pada satu cahaya—
Diantara adik adik kelas dan teman panitia
cahaya matamu yang lebih hangat dari api itu.

Aku tahu, aku tak punya banyak waktu.
Kebersamaan ini singkat,
malam hanya satu,
dan esok kita akan kembali jadi murid yang asing di lorong sekolah.
Maka dengan gugup,
ku curi kesempatan yang rapuh itu:
menyapamu, lirih,
di sela langkah-langkah yang berjejak di tanah lembab.

Kau menoleh, sedikit terkejut,
lalu tersenyum dengan malu yang menundukkan wajahmu.
Ah, senyum itu—
lebih indah dari gugusan bintang
yang seolah rela merapat ke bumi malam ini.

Tak ada janji, tak ada kata cinta,
hanya percakapan pendek yang terselip di antara
dingin kabut dan detak jantungku.
Tapi aku tahu,
di sanalah aku menyimpan keberanian terbesar:
mengakui dalam diam
bahwa aku jatuh—tanpa pernah harus terucap.

Malam itu selesai,
tenda kembali sunyi,
dan doa renungan membungkus tidur kita.
Namun jauh di dalam hatiku,
peristiwa kecil itu tak pernah benar-benar berakhir.
Ia terus hidup,
seperti bara api unggun yang padam perlahan,
tapi menyisakan hangat
yang selalu kurindukan.