Jumat, 08 Agustus 2025

novel 2

Lanjutan dari novel 1


Bait yang Tak Sengaja Terbaca

Hari itu pelajaran fisika terasa panjang. Hujan turun deras di luar jendela, suara rintiknya menyatu dengan suara kapur di papan tulis. Wida duduk di bangku tengah, Joe di barisan paling belakang.

Guru sedang menulis soal, dan Joe—seperti biasanya—sibuk mencoret-coret pojok bukunya. Bukan angka, bukan rumus, tapi bait-bait yang mengalir dari hatinya.

> “Aku tak pernah berani berjalan di sisimu,
karena langkahku terlalu pelan,
dan kau terlalu indah
untuk aku sentuh.”



Bel istirahat menggema. Semua bergegas merapikan buku. Joe, yang sedang melipat selembar kertas puisi kecil, tiba-tiba terpanggil oleh temannya di luar kelas. Ia beranjak cepat, meninggalkan bukunya terbuka di meja.

Wida, yang kebetulan lewat di belakangnya untuk menuju pintu, melihat selembar kertas terjatuh ke lantai. Ia membungkuk, mengambilnya. Awalnya ia hanya ingin mengembalikan, tapi matanya tak sengaja menangkap beberapa baris tulisan tangan itu.

Ada rasa yang aneh—hangat sekaligus membuatnya terdiam. Kata-kata itu seperti bukan sekadar puisi. Terlalu jujur, terlalu personal. Dan entah kenapa, bayangan Joe muncul di kepalanya.

Namun sebelum ia bisa membaca sampai habis, Joe kembali masuk, agak terkejut melihat kertas itu di tangan Wida.

“Eh… maaf.. itu… punyaku,” ucapnya pelan sambil tersenyum kaku.

Wida menyerahkannya tanpa banyak kata, hanya mengangguk. “Bagus puisinya,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi.

Joe berdiri memandangi punggungnya. Ada rasa panik, malu, tapi juga bahagia. Dalam hati ia bergumam, Dia membaca… walau cuma sedikit.

Sejak hari itu, Wida mulai memperhatikan Joe lebih sering. Tapi jarak di antara mereka tetap ada—karena Joe tak berani melangkah lebih dekat. Baginya, Wida tetaplah bintang: indah, tapi terlalu jauh untuk digapai.

Dan setiap malam, di kamarnya yang sepi, Joe kembali menulis. Kini ada satu perasaan baru yang menyusup ke setiap baitnya: harapan kecil yang ia takutkan, tapi diam-diam ia pelihara.

> “Kau mungkin membaca sebaris kata,
tapi di baliknya ada ribuan rasa
yang tak pernah sampai padamu.”


Teka-Teki yang Tak Terjawab

Hari-hari di kelas 3 IPA berjalan cepat. Ujian-ujian kecil datang silih berganti, namun di sela kesibukan itu, Wida mulai memperhatikan sesuatu.

Setiap kali pelajaran terasa membosankan, Joe selalu mencoret-coret buku catatan atau kertas kecil. Ia tidak pernah menunjukkan hasilnya pada siapa pun, tapi kadang kertas itu terlihat menumpuk di sudut meja. Dan jika diperhatikan baik-baik, di setiap bait selalu ada ciri yang sama: senyum yang digambarkan lembut, sorot mata yang menenangkan, dan kata “hijab” yang disebut seperti sebuah mahkota.

Wida mulai menyambungkan potongan-potongan ini. Puisi di Radio Asri dulu, kertas yang ia baca secara tak sengaja, dan kebiasaan Joe menulis di kelas. Semuanya terasa mengarah ke satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang.

Namun, Joe tetap seperti biasanya. Santai, suka bercanda dengan teman-teman cowoknya, tapi tak pernah mencoba duduk dekat atau memulai percakapan panjang dengannya. Bahkan saat mereka satu kelompok untuk tugas kimia, Joe hanya bicara seperlunya.

Di balik sikapnya itu, Joe menyembunyikan badai. Ia tahu Wida mungkin mulai menebak-nebak, tapi rasa mindernya masih menahan langkah. Dalam pikirannya, Wida adalah sosok yang sempurna: pintar, sopan, disukai semua orang, dan memiliki aura yang membuatnya seperti tak tersentuh.

Setiap malam, rindu yang tak pernah terucap itu semakin menekan dadanya. Ia menulis lagi—lebih banyak dari sebelumnya. Bahkan kini, setiap dua atau tiga hari, ia mengirim satu puisi ke Radio Asri. Tidak ada nama penerima, hanya bait-bait yang cukup jelas bagi siapa pun yang mengerti.

> “Kau seperti ayat yang tak berani kuucapkan,
takut suaraku tak cukup indah
untuk menyebut namamu.”



> “Jika diamku membuatmu tak mengerti,
biarlah kata-kata ini terbang di udara,
mencari telingamu,
tanpa harus membuat kita berhadapan.”



Wida mendengar beberapa di antaranya. Dan meskipun ia tidak pernah menegur atau bertanya langsung, ada senyum samar yang kadang muncul di wajahnya saat Joe tanpa sadar menatap ke arahnya.

Namun bagi Joe, senyum itu justru membuatnya semakin ragu. Ia takut salah menafsirkan. Ia takut berharap terlalu jauh. Dan karena itu, ia memilih tetap menjadi pengagum rahasia—meski jarak di antara mereka semakin terasa menyiksa.



Usikan yang Membuka Luka Rindu

Suasana kelas siang itu santai. Pelajaran Biologi baru saja selesai, guru keluar, dan murid-murid bebas berbicara. Sebagian sibuk mengerjakan PR, sebagian lagi bercanda.

Di pojok dekat jendela, Arin dan Zhulis duduk mengobrol sambil melirik ke arah Joe yang sedang menulis di bukunya. Keduanya sudah lama tahu kebiasaan itu. Bahkan Arin hampir yakin, isi tulisan Joe pasti lagi-lagi tentang Wida.

“Eh, Rin… coba deh tanya langsung,” bisik Zhulis sambil tersenyum nakal.

Arin mengangguk pelan, lalu berdiri dan berjalan ke arah Joe. Ia sengaja sedikit mengeraskan suara, supaya semua orang bisa dengar.

“Joe…” Arin berhenti tepat di depan meja Joe.
Joe menoleh santai. “Apa, Rin?”

“Kalau aku tanya, kamu jangan bohong, ya.”
Joe menyandarkan tubuhnya ke kursi, tersenyum tipis. “ ok siap Tanya apa sih? Serius amat, ahcmad aja choirudi” jawab nya sambil bercanda

Arin melirik sebentar ke arah Wida yang sedang menulis di mejanya, lalu kembali menatap Joe. “Puisi-puisi kamu itu… buat siapa, sih?”

Kelas langsung riuh. Beberapa teman cowok bersiul menggoda, sementara beberapa yang lain mulai menebak-nebak nama. Joe cuma tersenyum, meskipun jantungnya berdebar tak karuan.

“Rahasia,” jawab Joe singkat sambil menutup bukunya.

“Tapi kalau aku tebak, boleh nggak?” tanya Arin lagi.
“Ya… boleh aja. Tapi kalau salah, jangan baper,” jawab Joe santai.

Arin tersenyum lebar. “Wida, kan?”

Sekeliling langsung ramai. Beberapa teman cewek melirik ke arah Wida, yang terdiam sambil menatap bukunya. Joe hanya terkekeh kecil, tidak mengiyakan, tapi juga tidak menyangkal.

Zhulis menimpali, “Waduh, kalau diam berarti iya tuh…”

Joe tetap tenang, meski wajahnya sedikit memanas. Ia tahu kalau membantah pun tak akan ada gunanya. Jadi ia memilih tetap diam, pura-pura sibuk membereskan buku.

Di bangkunya, Wida berusaha menahan senyum. Ia tidak menatap Joe, tapi dalam hati ia tahu—tebakan Arin mungkin tidak sepenuhnya salah.

Sejak kejadian itu, suasana kelas jadi sedikit berbeda. Teman-teman sering menggoda Joe dan Wida, meski keduanya tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Tapi bagi Joe, setiap candaan itu seperti mengaduk-aduk rindunya yang sudah lama ia pendam.

Dan malam itu, ia menulis lagi.

> “Kau tahu rasanya,
saat namamu disebut di hadapan semua orang,
tapi aku tak bisa berkata ‘ya’
meski seluruh dadaku berteriak mengakuinya?”


Sapaan yang Membuat Gugup

Hari itu matahari terasa terik, suasana kelas agak lengang karena sebagian siswa mengikuti lomba di luar sekolah. Hanya ada beberapa orang yang tinggal, termasuk Joe dan Wida.

Joe duduk di bangku belakang, menulis sesuatu di buku catatan lusuhnya. Sesekali ia menatap ke luar jendela, membiarkan angin siang masuk dan mengacak rambutnya.

Dari depan kelas, Wida memperhatikannya. Sejak kejadian “tebakan Arin” beberapa hari lalu, rasa penasaran dalam hatinya semakin besar. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang ada di pikiran Joe.

Akhirnya, ia memberanikan diri melangkah ke bangku belakang. Joe baru sadar ketika bayangan Wida jatuh di mejanya.

“Lagi nulis apa?” tanya Wida pelan.

Joe tersentak kecil. “Eh… ini? Cuma… coret-coret aja.” Ia buru-buru menutup bukunya.

Wida tersenyum tipis. “Kamu nggak pernah mau kasih lihat, ya?”
Joe menggaruk belakang kepalanya, gugup. “Ngg… itu, nggak bagus cuman coretan coretan kok.”

Suasana hening sebentar. Hanya suara kipas angin yang terdengar. Wida menatapnya dengan ekspresi tenang, tapi tatapan itu justru membuat Joe makin salah tingkah.

“Aku dengar… kamu sering kirim puisi ke Radio Asri,” kata Wida pelan.
Joe mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. “Hehe… iya, kadang-kadang, sekarang dah jarang.”

“Bagus-bagus puisinya,” lanjut Wida. “Aku suka.”

Kalimat itu membuat Joe terdiam. Ia tak tahu harus membalas apa. Dalam kepalanya, ribuan kata berdesakan ingin keluar, tapi mulutnya terkunci oleh rasa minder. Ia hanya mampu tersenyum kecil.

Wida tak menunggu jawaban lebih lama. “Ya udah, aku ke depan lagi,” ucapnya sambil berbalik.

Begitu Wida pergi, Joe memejamkan mata sebentar. Tangannya mengepal di atas meja. Kenapa aku nggak bisa ngomong apa-apa? batinnya.

Malam itu, ia kembali menulis—tapi kali ini puisinya lebih berat dari biasanya.

> “Kau datang membawa sapaan,
dan aku malah menyembunyikan semua kata
yang seharusnya membuatmu mengerti.”



> “Mungkin aku memang pengecut,
tapi bukankah mencintai dalam diam
adalah satu-satunya cara
agar kau tetap tersenyum?”


Bertarung Tanpa Suara Dukungan

Sebelum libur semester 1, Joe ikut kejuaraan pencak silat antar pelajar se-Jawa Tengah yang digelar di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sejak awal, ia punya keinginan sederhana—bisa memberi tahu Wida, lalu mendapat kata-kata dukungan darinya. Hanya itu.

Tapi keinginan itu tak pernah keluar dari bibirnya.
Setiap kali membayangkan mengirim pesan atau sekadar menyapa Wida di sekolah untuk memberi kabar, Joe mengurungkannya. Ia takut dianggap terlalu berharap.

Di hari pertandingan, suasana gedung olahraga penuh riuh suara sorak-sorai. Teman-teman satu tim Joe hampir semuanya punya pacar yang datang memberi dukungan. 

Joe hanya tersenyum melihat itu semua. Tidak ada pasangan yang menunggunya di tribun, tidak ada orang tua yang duduk memandang dari kejauhan memang orangtua g begitu suport. Ia datang hanya bersama pelatih dan beberapa teman sesama atlet.

Saat gilirannya naik ke arena, Joe memejamkan mata sebentar. Dalam hatinya, ia berbisik, Andai Wida tahu… andai dia ada di sini.

Pertandingan berjalan sengit. Lawan-lawannya tangguh, tapi Joe bertarung dengan ketenangan yang jarang ia tunjukkan di luar arena. Setiap tendangan dan pukulan seolah menjadi pelampiasan dari semua rasa rindu, sepi, dan minder yang selama ini ia pendam.

Hingga akhirnya, Joe berhasil melaju ke babak semifinal. Meski langkahnya terhenti di sana karena ibu jari kakinya retak dan bengkak,, ia pulang membawa medali perunggu—juara 3. Itu lebih baik dari kebanyakan rekannya yang gugur di babak penyisihan.

Di perjalanan pulang, ia menatap medali itu lama-lama. Ada rasa bangga, tapi juga kosong. Ia membayangkan, Kalau Wida tahu, apa dia akan tersenyum untukku?

Malamnya, ia menulis puisi lagi:

> “Aku bertarung di tengah sorak orang lain,
tapi suaramu tak pernah terdengar.
Medali ini berat,
tapi akan terasa ringan
jika aku bisa melihatmu bangga.”


Waktu yang Mulai Menghimpit

Semester akhir dimulai. Buku-buku tebal mulai memenuhi meja, jadwal tryout dan jadwal les tambahan di sekolah menempel di papan tulis, dan setiap guru seolah mengingatkan bahwa masa-masa di SMA akan segera berakhir.

Bagi sebagian siswa, ini adalah waktu untuk fokus penuh pada ujian. Bagi Joe, ada satu hal lain yang diam-diam menghimpit dadanya: waktu bersama Wida kian menipis.

Ia tahu, setelah lulus nanti, mungkin mereka akan menempuh jalan yang berbeda. Dan jika itu terjadi, bukan hanya jarak fisik yang memisahkan, tapi mungkin juga semua kesempatan untuk menyampaikan perasaan.

Namun, rasa mindernya masih menahan langkah. Alih-alih berbicara, Joe memilih menuangkannya lagi dalam puisi. Dan kali ini, bait-baitnya terasa lebih dalam, lebih gelap, seperti ketakutan yang mulai nyata.

> “Kita berdiri di ujung waktu,
menatap hari-hari yang menipis
seperti pasir jatuh dari sela jariku.
Aku ingin menahanmu,
tapi takut membuatmu menjauh.”



> “Jika nanti kau tak lagi membaca puisiku,
semoga kau tahu,
setiap hurufnya lahir dari rindu
yang tak pernah sempat bertemu.”



Di kelas, jarak mereka masih sama. Wida tetap bersikap ramah seperti biasanya, tapi Joe selalu menjaga batas. Ia tidak ingin Wida merasa risih di saat-saat terakhir kebersamaan mereka.

Suatu siang, saat hujan deras mengguyur sekolah, Joe duduk sendirian di bangku belakang sambil menatap jendela yang berembun. Suara hujan membuatnya semakin larut dalam pikirannya. Kalau aku tetap diam… mungkin aku akan menyesal seumur hidup, batinnya.

Tapi sebelum ia bisa mengambil keputusan, suara langkah kaki mendekat. Wida lewat di depannya, menatap sebentar, lalu memberi senyum hangat.

Senyum itu membuat Joe sadar—perasaan ini belum siap ia lepaskan. Dan ia tahu, di sisa waktu yang ada, ia akan terus menulis… sampai hari terakhir



Puisi yang Tak Pernah Diberikan

Hari itu sekolah mengadakan acara Perpisahan dan Pelepasan untuk kelas 3 Aula besar dihias dengan lampu gantung sederhana dan pita warna emas. Semua siswa mengenakan seragam terbaik mereka.

Joe duduk di barisan agak belakang, mengenakan kemeja putih agak rapi di banding waktu waktu yang lalu. Di tangannya, ada sebuah kertas lipat kecil. Di dalamnya tersimpan puisi yang ia tulis khusus untuk Wida.

> “Untuk senyum yang selalu kutemui,
meski jarak kita tak pernah mengecil.
Untuk langkahmu yang selalu kutatap dari jauh,
meski kau tak pernah tahu arah mataku.
Dan untuk hari ini—
semoga bahagia selalu menyertaimu,
bahkan tanpa aku di sisimu.”



Ia berencana menyerahkan kertas itu secara diam-diam. Tidak dengan nama, hanya puisi yang mungkin akan dibaca Wida tanpa tahu siapa penulisnya.

Namun, sepanjang acara, ia tak kunjung menemukan keberanian. Saat Wida berjalan lewat, bercakap dengan teman-temannya sambil tertawa, Joe hanya mampu menunduk.

Bayangan masa lalu kembali menghantam pikirannya—waktu di kelas 2, ketika Arin dan Zhulis menyampaikan bahwa Wida belum bisa menerima perasaannya. Momen itu membekas, membuat Joe takut semua akan terulang jika ia mencoba lagi.

Akhirnya, kertas puisi itu tetap ada di sakunya hingga acara usai. Malamnya, di kamar, ia menatap kertas itu lama-lama. Alih-alih memberikannya, ia menaruhnya di dalam kotak kayu kecil, bersama puluhan puisi lain yang tak pernah sampai ke tangan Wida.

Biarlah begini… pikirnya. Cinta ini cukup aku yang tahu.


Cinta yang Tetap di Dalam Hati

Hari kelulusan tiba. Halaman sekolah dipenuhi tenda putih, kursi-kursi tersusun rapi, dan panggung kecil di depan.

Joe berdiri di antara teman-temannya, mencoba tersenyum pada setiap temen yang menyapa. Tapi di dalam hatinya, ia sibuk menghitung waktu. Setelah hari ini, mungkin ia tak akan pernah lagi melihat Wida setiap pagi, duduk di kelas yang sama, atau mendengar suaranya memanggil teman-temannya.

Saat acara usai, kerumunan mulai bubar. Siswa saling berfoto, saling menulis pesan di seragam putih yang mereka kenakan. Joe melihat Wida di kejauhan, dikelilingi teman-teman. Senyum Wida cerah, seperti sinar matahari di awal musim panas.

Joe ingin melangkah, sekadar mengucapkan selamat, atau bahkan menyerahkan satu dari ratusan puisinya. Tapi langkah itu tak pernah benar-benar ia ambil. Bukan hanya karena minder, tapi karena ia tahu—sejak dulu Wida tidak pernah menaruh perasaan yang sama.

Ia memilih mengamati dari jauh, menyimpan semua kata yang ingin ia ucapkan di dalam dadanya.

Saat Wida akhirnya pergi, langkahnya ringan, tak menoleh ke belakang. Joe hanya berdiri memandangi punggung itu, sampai hilang di balik gerbang sekolah.

Malamnya, Joe menulis puisi terakhir untuk Wida:

> “Kita berakhir tanpa pernah dimulai.
Aku mencintaimu,
bukan untuk dimiliki,
tapi untuk kukenang.
Jika esok kau membaca namaku,
semoga kau tahu—
di masa mudamu,
ada seseorang yang diam-diam
selalu mendoakan bahagiamu.”



Puisi itu ia masukkan ke kotak kayu, bergabung dengan semua puisi lain yang tak pernah sampai.
Bagi Joe, cinta bukan soal memiliki. Cinta adalah menjaga, meski dari jarak yang tak pernah mengecil.

Dan begitu, kisah mereka berakhir—tidak dengan pengakuan, tidak dengan kebersamaan, tapi dengan diam yang penuh rasa.


Epilog – Puisi yang Tetap Hidup

2 tahun berlalu sejak kelulusan SMA.
Hidup membawa Joe jauh dari tempat tinggal nya,. Ia kini bekerja atau berniaga atau bakulan di luar Jawa., menjalani hari-hari yang penuh tenggat dan tumpukan dagangan

Namun, di malam yang tenang, ia selalu kembali pada satu kebiasaan lamanya—menulis puisi.
Bukan lagi untuk dikirim ke radio, bukan untuk didengar banyak orang. Hanya untuk dirinya sendiri.

Kotak kayu kecil itu masih tersimpan rapi di lemari. Puluhan puisi yang ia tulis di masa SMA tetap utuh, kertasnya mulai menguning, tapi tinta hitamnya masih jelas terbaca. Di antara semua puisi itu, ada yang terakhir ia tulis di malam kelulusan—puisi yang menutup kisahnya dengan Wida.

Kadang Joe bertanya-tanya, di mana Wida sekarang. Apakah dia sudah menikah? Apakah senyumnya tetap sama? Atau apakah dia pernah, walau sekali saja, menyadari ada seseorang yang pernah mencintainya begitu diam-diam?

Satu malam, sambil menyeruput kopi, Joe menulis di halaman buku puisinya:

> “Bukan waktu yang membuatku lupa,
hanya jarak yang membuatku diam.
Aku tak menyesal pernah mencintaimu,
bahkan jika namaku
tak pernah singgah di hatimu.”



Ia menutup buku itu, memandang langit malam dari jendela kecil kamarnya. Di luar sana, kehidupan terus berjalan.
Tapi di hatinya, Wida akan selalu menjadi gadis berkerudung dengan senyum tenang—yang tak pernah ia miliki, namun selalu ia cintai.

Dan bagi Joe, itu sudah cukup.

Selesai