Embun menitik di ujung daun sunyi,
Burung-burung menari di udara bening,
Namun jiwaku, entah di mana berdiam diri.
Langit biru membentang tanpa cela,
Sungai berdesir mengusap batu-batu tua,
Aku duduk, menatap jauh,
Seperti mencari sesuatu yang tak pernah tiba.
Indahnya alam merangkul ragaku,
Tapi hatiku tetap asing di pelukannya,
Gunung ini tinggi,
Namun sepi di dadaku jauh lebih menjulang.
Sunyi di Kaki Gunung
Di punggung gunung,
angin melantunkan zikir rahasia,
daun-daun bertasbih,
air sungai membaca ayat-ayat tanpa suara.
Namun aku,
duduk di antara keindahan ciptaan-Nya,
merasa hampa
seperti bejana retak yang tak mampu menampung cahaya.
Langit biru memanggil,
tapi pandanganku redup oleh debu hati,
burung-burung kembali ke sarang,
sementara jiwaku masih mencari rumahnya.
Mungkin,
bukan gunung yang jauh dariku,
tapi aku yang menjauh dari Pencipta gunung itu.
Di ujung lelah,
aku rebahkan hati di tanah yang sejuk,
menghela napas panjang,
membiarkan angin gunung menyapu resahku.
Kupejamkan mata,
mendengar bisik bumi:
"Dia selalu dekat, bahkan saat kau jauh."
Air mata jatuh,
membasuh retak di dalam dada,
setiap tetesnya menjadi doa,
mengalir menuju samudra ampunan.
Kini,
burung-burung itu tak lagi sekadar bernyanyi,
mereka bercerita tentang syukur.
Gunung tak hanya megah di hadapan mata,
tapi juga kokoh di dalam jiwa.
Dan aku mengerti,
di tengah alam yang indah ini,
hatiku tak lagi hampa—
karena telah kembali kepada-Nya.