Sabtu, 09 Agustus 2025

Bunga yang Terlalu Indah

Di lorong sempit sekolah kita
Langkahmu tenang, jilbabmu berkibar pelan
Matamu menunduk, namun cahaya
Menyusup ke dadaku yang rapuh

Aku hanya duduk di sudut kelas
Menatapmu lewat jendela
Berpura-pura sibuk menulis,
Padahal aku sedang menghafal setiap gerakmu

Bunga yang terlalu indah tak pernah kupetik
Bukan karena tak ingin,
Tapi karena takut kelopaknya layu
Jika kugenggam dengan tangan yang gemetar

Di antara tumpukan buku dan suara bel,
Aku titipkan namamu pada angin
Membiarkannya terbang
Ke langit yang kau pandang saat senja

SMA berlalu seperti mimpi
Dan aku tetaplah si pengecut yang
Hanya berani mencintaimu
Dalam diam yang panjang


Bunga yang Terlalu Indah

Di bangku kayu kelas dua B
Aku mengenalmu—gadis berjilbab sederhana
Yang senyumnya lebih manis dari lagu-lagu
Yang sering ku-request di radio malam minggu

Waktu itu,
Tak ada pesan singkat, tak ada status
Hanya suara DJ di ujung siaran
Membacakan salam yang tak pernah menyebut namamu terang-terangan

“Untuk seseorang di kelas sebelah…
Semoga hari ini kamu tersenyum,”
Begitu kataku lewat udara
Sambil berharap kau mengerti isyaratnya

Setiap pagi, kulihat langkahmu masuk gerbang
Membawa cahaya yang mengalahkan matahari
Dan aku—si lelaki yang suka bercanda—
Mendadak kehilangan kata-kata jika berhadapan denganmu

Bunga yang terlalu indah tak kupetik
Karena takut durinya menyadarkan
Bahwa aku hanyalah pengagum dari kejauhan
Bukan seseorang yang kau nantikan

Sampai akhirnya
Hari-hari SMA hanyut seperti lagu lama
Dan aku masih mengingatmu
Sebagai doa yang tak pernah kuselesaikan

Bunga yang Terlalu Indah

Bel istirahat baru saja berbunyi, dan suasana kelas dua B seperti pasar kecil. Suara tawa, bunyi gesekan kursi, dan dentingan sendok mengenai tutup kotak bekal bercampur jadi satu. Aku duduk di kursi dekat jendela, pura-pura sibuk mencatat pelajaran yang tadi pun belum selesai kutulis.

Dari pojok mataku, aku melihatnya. Wida.
Jilbab putihnya tergerai rapi, menutupi sebahagian bahu. Dia berjalan pelan menuju meja Arin, sahabat sebangkunya, sambil membawa bekal kecil. Tidak ada yang istimewa, kecuali bagiku—setiap gerakannya seperti melambatkan waktu.

Aku menunduk, pura-pura fokus. Tapi jantungku seperti radio tua yang bunyinya serak-serak basah: degupnya tidak karuan.

Waktu itu belum ada ponsel pintar. Cara paling berani yang bisa kulakukan hanyalah menitip salam lewat radio lokal setiap malam Minggu.
Biasanya begini:

"Halo Kak DJ, salam buat seseorang di kelas sebelah. Semoga besok paginya cerah seperti senyumnya."

Aku tahu, itu terlalu samar.
Aku takut menyebut namanya.
Takut teman-temannya akan menggodanya. Takut dia tahu dan kemudian menjauh.

Kadang, saat DJ membaca salam itu, aku membayangkan dia di rumahnya.
Mungkin sedang mengerjakan PR, mungkin menulis di buku diary-nya, lalu terhenti sejenak, bertanya-tanya—apakah salam itu untuknya?

Hari-hari SMA terus berjalan seperti kaset pita yang diputar berulang-ulang. Aku selalu di sini, di kursi yang sama, menjadi penonton diam untuk sebuah panggung kecil bernama Wida.

Aku tak pernah berani bilang.
Karena bunga yang terlalu indah, rasanya tak pantas kucoba genggam dengan tangan penuh ragu.

Dan akhirnya, kelulusan datang.
Kami berpisah tanpa kata.
Dia melangkah dengan senyum yang sama, dan aku hanya menatap punggungnya, menyadari… mungkin beberapa lagu di radio tak akan pernah terdengar sama lagi.