Judul: Adakah Harapan untukku
(Bait kata ini bercerita tentang mencintai dalam diam, kepada gadis berhijab di SMA)
Di ujung bangku ruang dua B,
aku duduk menata kata dalam sunyi.
Tatapku tersimpan rapi di balik buku,
sementara hadirmu—
selalu menjelma doa yang tak pernah lelah kutuju.
Langkahmu tenang,
jilbabmu sederhana tapi meneduhkan,
seolah kau bawa teduhnya langit sore
yang diam-diam kurindukan
di antara tugas, absen, dan mata pelajaran.
Kau tak pernah tahu,
namamu kerap kusematkan
di bait puisi yang tak pernah kubacakan.
Sebab ku tahu,
tak semua rasa harus kau tahu.
Aku hanya remaja biasa,
yang sepatu lusuh dan kemejanya kadang tak rapi.
Yang hanya bisa menulis
bukan untuk dikagumi, tapi untuk menjaga hati
yang mulai gentar menanggung sendiri.
Aku takut—
bukan pada penolakan,
tapi pada kenyataan bahwa mungkin
kau tak pernah menoleh ke arahku,
meski aku selalu ada di barisan paling diam
saat kau tersenyum pada dunia.
Maka kupilih diam,
meski hati selalu ingin bicara.
Kupilih jarak,
karena dekat pun tak selalu membawa rasa tenang.
Tapi…
di sela sujud yang lama,
kadang aku bertanya:
Adakah harapan untukku…
yang mencintaimu tanpa pernah kau tahu?
Ataukah aku memang hanya ditakdirkan
menjadi pelengkap kisahmu
yang tak tertulis…
tapi tak pernah terlupa?
÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷√÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷
Adakah Harapan untukku
(Cinta yang kusembunyikan, di balik sunyi yang tak pernah usai)
Masih seperti biasa
kutemukan diriku tak pernah berpindah,
menatapmu dari kejauhan
dengan hati yang tak pernah tahu
bagaimana caranya berbicara.
Jilbabmu jatuh tenang di bahu,
seolah kau adalah rahasia surga
yang terlalu suci untuk disentuh
oleh jemariku yang terbiasa menulis luka
dan merangkai kata dari kehampaan.
Kau berjalan di antara ramai,
tapi dunia seketika hening bagiku.
Senyummu bukan hanya indah,
tapi juga menyakitkan—
karena tak pernah ditujukan padaku.
Aku bukan siapa-siapa…
Tak pandai bersilat lidah,
tak punya paras yang membuatmu menoleh,
hanya lelaki sunyi
yang merawat cinta di celah-celah kertas ujian
dan debu-debu papan tulis yang usang.
Berulang kali kudoakan namamu
tanpa berharap banyak bisa dekat denganmu
Kugenggam rindu
yang bahkan tak bisa kupinjamkan padamu
karena aku tahu,
di hatimu mungkin tak ada ruang
untuk orang sepertiku.
Sahabatmu bilang:
kau menginginkan yang baik,
yang taat, yang lurus jalannya.
Sementara aku masih belajar
menyatukan patah dan iman dalam satu tarikan napas,
masih tersesat
antara mencintaimu dan merelakanmu.
Terkadang aku menulis namamu
lalu menghapusnya dengan air mata.
Sebab mencintaimu dalam diam
adalah satu-satunya cara
agar aku tetap bisa melihatmu
tanpa kehilangan diriku sendiri.
Dan kini,
di malam yang panjang dan dingin,
saat dunia sudah memunggungi mimpi-mimpi,
aku bertanya lirih pada Tuhan yang Maha Tahu:
Adakah harapan untukku…?
Yang mencintaimu sepenuh hati,
namun memilih diam,
karena takut kehadiranku justru melukai sujudmu?
Jika tak ada,
biarlah namaku tak pernah kau kenang.
Asal senyummu tetap ada,
dan langkahmu tetap terjaga.
Karena cinta sejati,
kadang cukup hidup…
dalam kesendirian yang tak pernah selesai.