Aku lahir dari retaknya dinding rumah,
Cibiran, hinaan jadi memori lagu nina bobo yang membekas,
Meja makan jadi arena diam dan dingin,
Ayah dan Ibu, dua kutub yang tak saling sapa lagi.
Ada yang bilang: “Kamu anak rusak, buah dari luka,”
Dan masyarakat pun percaya, tanpa tanya,
Tatapan mereka tajam seperti pisau dapur,
Mengiris harga diriku tiap kali aku melangkah keluar.
Ragaku yang mungil seakan selalu di sambar petir
Di sekolah dasar tiap hari jadi ejekan dan bulian
aku yang selalu merasa lelah dengan hidup ini
Karena canda teman kadang menyimpan hina,
“Ayahmu ke mana? Kenapa ibumu menangis lagi?”
Pertanyaan kecil yang menghantam seperti badai.
Aku tumbuh dengan suara-suara miring di telinga,
Dibilang tak layak bermimpi, apalagi mencinta.
Hatiku penuh puing harapan yang nyaris jadi abu,
Tapi entah mengapa, namamu hadir seperti cahaya di celah ragu.
Di kelas 2 SMA ku melihatmu,
Seakan runtuh semua kisah piluku
Kau wanita berhijab, senyummu tenang seperti subuh,
Kau tidak tahu, setiap langkahmu adalah puisi bagiku,
Namun aku diam… karena siapa aku?
Anak pecahan rumah, yang dianggap aib oleh dunia.
Aku takut mendekat, bukan karena tak cinta,
Tapi karena aku tahu, masyarakat punya taring yang bisa melukaimu.
Jika kau bersamaku, mereka akan menatapmu seperti mereka menatapku,
Dan aku tak ingin lukaku jadi alasan lukamu.
Pernah kutulis surat, panjang, jujur, dan hancur,
Kutulis semua tentang aku, tentang luka yang tak bisa sembuh,
Tentang malam-malam yang kulewati tanpa cahaya,
Tentang perasaan yang kusembunyikan dalam doa.
Tapi surat itu tak pernah terkirim.
Aku lipat, aku simpan, aku kubur dalam buku puisi,
Karena cinta tak cukup hanya dengan rasa,
Kadang dunia menuntut nama baik, keluarga, dan silsilah.
Hari-hari berlalu, dan kau kian jauh,
Mungkin kau tak pernah tahu,
Bahwa di antara mereka yang diam di pojok kelas,
Ada seorang lelaki rapuh yang mencintaimu tanpa suara.
Kini aku dewasa, luka-luka itu jadi bagian dari dagingku,
Masyarakat tetap sama, hanya bajunya yang berbeda,
Namun aku belajar,
Bahwa diam pun bisa jadi bentuk cinta yang paling jujur.
Dan jika kelak Tuhan memberiku kesempatan,
Aku ingin mencintaimu tanpa rasa takut,
Bukan lagi sebagai anak dari rumah yang runtuh,
Tapi sebagai lelaki yang berani berdiri—
meski dunia tetap ingin menjatuhkannya.