Jumat, 01 Agustus 2025

rangkaian


"Lidah yang Tak Juga Berani"

Aku menulis namamu di benakku,
setiap malam, dalam hening yang tanpa suara,
bukan sekadar untuk mengenang—
tapi karena aku tak tahu
harus ke mana lagi menyimpan rindu.

Kau tahu,
aku sering menyapamu dalam doa yang paling diam,
bukan karena tak ingin kau tahu,
melainkan karena aku takut…
jika kata-kata justru menjauhkan kita.

Cintaku ini seperti hujan bulan Juni,
datang pelan, tak ingin mengganggu,
tapi selalu menetap lebih lama dari yang seharusnya.
Ia meresap perlahan,
hingga aku sendiri tak sadar
seberapa dalam aku telah tenggelam.

Sering kali aku ingin bicara,
ingin menyusun kalimat yang tepat
agar kau tahu:
aku menyayangimu bukan karena apa pun yang kau miliki,
tapi karena kehadiranmu,
yang selalu membuat dunia terasa kurang
jika tanpamu.

Namun lidahku kelu,
tak sanggup menghadapi kemungkinan kehilangan.
Karena kadang,
mengungkapkan cinta berarti siap
untuk tidak dicintai kembali.

Dan aku belum siap.
Belum siap melihat matamu menjauh,
senyummu mengeras,
dan langkahmu menjadi lebih cepat
saat aku lewat.

Jadi biarlah,
biar aku tetap diam,
biar aku mencintaimu dalam doa yang rahasia,
biar aku menuliskan puisi ini berkali-kali
tanpa pernah mengirimkannya padamu.

Karena mencintaimu dari jauh,
membiarkanmu tetap bahagia dengan caramu,
itu adalah bentuk cintaku yang paling dalam,
dan barangkali…
yang paling tulus.

_____&&&&________&&&&_______________&_
================{{{{==============={

Dalam Diam yang Tak Sempat Tiba"


kau mungkin tak pernah tahu,
betapa namamu adalah doa yang paling sering kusebut,
meski tak pernah terucap dalam percakapan nyata.
Aku menjaganya—seperti rahasia
yang terlalu indah untuk disampaikan,
dan terlalu rapuh untuk diuji kenyataan.

Aku pernah duduk di bangku itu,
beberapa langkah darimu,
mendengar tawamu,
melihat matamu menari saat membaca sesuatu yang kau suka.
Dan entah sejak kapan,
segala hal yang biasa
jadi luar biasa hanya karena kau di sana.


aku ingin mengatakan betapa aku menyayangimu
bukan karena sekadar kagum,
tapi karena ada sesuatu dalam dirimu
yang membuat dunia seolah berhenti,
setiap kali aku melihatmu diam-diam.

Tapi aku ragu.
Karena semakin aku mencintaimu,
semakin aku takut kehilanganmu.
Semakin aku ingin bicara,
semakin bibirku terkunci oleh kemungkinan:
bagaimana jika perasaanku justru merusak segalanya?

Maka kutulis saja puisi demi puisi,
kutitipkan rinduku pada salam radio yang tak pernah kusebutkan namamu,
kubiarkan waktu berjalan—dengan harapan dan khawatir yang saling mendekap.
Karena jika aku menyatakan cinta ini
dan kau berpaling...
apa yang tersisa dariku, selain penyesalan?


kau mungkin hanya melihatku
sebagai teman sekelas yang suka melucu,
yang bajunya sesuka hati,
yang duduk di pojok dan sibuk menulis entah apa.
Tapi diam-diam,
puisi-puisi itu semua tentangmu.

Perasaan ini, 
bukan cinta yang berani tampil di depan kelas,
bukan cinta yang mengirim bunga atau pesan terang-terangan.
Ia adalah cinta yang memeluk dari jauh,
yang berani setia meski tak pernah digenggam,
yang tetap menunggu…
meski tak pernah dijemput harapan.

Dan andai suatu hari kau membaca ini,
mungkin setelah bertahun-tahun,
aku hanya ingin kau tahu:
bahwa pernah ada seorang laki-laki
yang mencintaimu begitu dalam…
hingga ia memilih diam,
karena takut kehilangan
meski tak pernah benar-benar memiliki.