Novel
Bayangan di Awal Kelas Dua
Matahari pagi itu terasa hangat, tapi tidak cukup untuk mencairkan dingin yang sejak lama menetap di hati Joe. Ia berdiri di depan papan pengumuman, matanya bergerak cepat menelusuri deretan nama-nama siswa di kelas dua.
Namanya ada di kelas 2B waktu kls 1 nya di klas 1A — kelas baru, wajah baru, dan mungkin cerita baru. Tapi bagi Joe, “cerita baru” bukanlah hal yang selalu ia sambut dengan senyum. Sejak perpisahan orang tuanya saat ia masih duduk di bangku SD, dunia baginya seperti panggung yang terlalu ramai. Ramai… tapi asing.
Kehidupannya setelah itu penuh cibiran. Anak-anak sebaya dulu sering melemparkan ejekan—kadang terang-terangan, kadang lewat bisik-bisik yang menusuk lebih dalam dari teriakan. Ia belajar untuk menutup diri, terutama pada teman-teman perempuan. Baginya, menjaga jarak lebih aman daripada memberi kesempatan pada orang lain untuk melukai.
Waktu kelas satu SMA, Joe jarang sekali masuk sekolah. Alasannya bukan karena malas, tapi karena sulit menata pikirannya. Ia seperti sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Meski begitu, anehnya, nilai-nilainya masih cukup baik—bahkan masuk peringkat 10 besar. Orang bilang ia punya otak encer, tapi Joe tahu itu hanya hasil dari kebiasaannya membaca diam-diam di rumah, bukan karena semangat belajar yang membara.
Kini, di kelas dua, ia memutuskan untuk mencoba hadir di awal semester. Hari pertama pembagian kelas, aula sekolah dipenuhi suara riuh siswa. Beberapa wajah familiar dari kelas satu menyapanya dengan senyum atau anggukan singkat. Joe membalas seadanya.
Saat ia melangkah masuk ke kelas baru, matanya menangkap sosok yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Seorang gadis duduk di bangku dekat jendela, cahaya matahari pagi memantul lembut di jilbab putih nya. Dia sedang tertawa kecil bersama seorang teman, tapi tawa itu terdengar… lain. Tidak berlebihan, tidak dibuat-buat—hanya tulus.
Joe merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Perasaan itu datang cepat, seperti hembusan angin yang membuat daun gugur tanpa sempat bertanya kenapa. Ia tidak tahu siapa nama gadis itu. Yang ia tahu, matanya seolah tertarik untuk kembali melihat, meski ia cepat-cepat memalingkan wajah, pura-pura sibuk mencari bangku kosong.
Nama gadis itu belum terungkap, tapi entah kenapa, di hati Joe sudah muncul satu pertanyaan yang berulang-ulang berbisik:
"Siapa dia…?"
Awal Sapa
Hari kedua di kelas baru, udara pagi terasa agak sumpek. Mungkin karena kelas masih penuh dengan suara obrolan, kursi yang bergeser, dan tawa-tawa kecil yang saling bersahutan.
Joe datang seperti biasa—tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Dia melangkah santai sambil menenteng buku dan plastik es teh, pakaian sesuka dia, Teman-teman yang sudah mengenalnya dari kelas satu hanya melirik lalu geleng-geleng.
“Pagi-pagi udah ngesteh Bro? sekolah koyo bar ngarit,” sindir phur, temannya.
Joe nyengir. “Biar otak nggak kaget ketemu matematika, phur.”
Ia duduk di bangku belakang, memerhatikan sekitar. Beberapa wajah ia kenal dari kelas satu, tapi ada juga wajah-wajah baru yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Lalu… matanya berhenti pada satu sosok di dekat jendela. Seorang gadis berhijab putih, duduk rapi dengan buku catatan di atas meja. Wajahnya teduh, geraknya tenang. Dia sedang berbicara dengan teman di sebelahnya, suaranya tidak terdengar jelas tapi senyumnya… sederhana, tapi entah kenapa menenangkan.
Wali kelas masuk, lalu mulai acara perkenalan. Satu per satu siswa diminta maju atau berdiri untuk menyebutkan nama dan hobi.
Saat giliran gadis itu, dia berdiri perlahan.
“Assalamualaikum, nama saya Widayanti. Hobi saya membaca dan menulis bantu orang tua . Saya dari kelas 1B tahun kemarin. Senang bisa kenal teman-teman di sini,” ucapnya lembut.
Jadi memang benar, dia bukan dari kelas satu yang sama dengan Joe. Wajar kalau Joe sama sekali belum pernah melihatnya.
Saat waktu istirahat, sebagian siswa keluar kelas. Joe masih duduk sambil mengunyah sisa permen. Iseng, ia mengetuk pelan kursi Wida dari belakang.
“Eh, Wida ya? dengan gaya sok malu sok kenal” ucapnya joe santai.
Wida menoleh, sedikit tersenyum. “Makasih. Kamu… Joe, kan?”
“Iya. Kok tau?” tanya Joe sambil pura-pura heran.
“Baru aja tadi denger pas perkenalan,” jawab Wida tenang.
“Oh kirain aku udah terkenal duluan,” kata Joe sambil nyengir.
Wida menahan tawa. “Kalau terkenal karena apa dulu?”
“Nah itu dia, kalau karena ranking nggak mungkin. Aku ini cuma murid rajin bolos yang sok pinter,” jawab Joe sambil memainkan bolpoin.
Percakapan itu sederhana, tapi cukup untuk membuka pintu. Joe merasa aneh—biasanya dia malas memulai obrolan dengan cewek, tapi kali ini… dia malah ingin tahu lebih banyak.
Di jam pelajaran berikutnya, Joe beberapa kali melempar komentar kecil yang membuat Wida tersenyum atau menggeleng pelan. Entah kenapa, melihat senyumnya membuat kelas terasa tidak se-membosankan biasanya.
Hari itu, jam istirahat kedua dan sholat dhuhur berjamaah rutinitas sekolah. Udara di masjid sekolah bercampur bau gorengan dan mie instan, membuat suasana semakin ramai. Selesai solat Joe dan beberapa temannya duduk di sudut kantin, bercanda sambil makan gorengan
“Eh, itu anak baru ya? Yang duduk sama Wida di kelas?” tanya Arif sambil menunjuk ke arah luar kantin.
Joe mengikuti arah telunjuknya. Dua siswi tampak berjalan sambil membawa buku. Salah satunya Wida. Di depan mereka, ada dua cowok yang sengaja menghalangi jalan sambil bercanda berlebihan.
Joe menaruh sendoknya. “Hmm… gaya apaan tuh?” gumamnya.
Wida awalnya tetap tersenyum sopan, tapi saat salah satu cowok mulai berusaha mengambil buku dari tangannya, ekspresinya berubah. Dia melangkah setengah maju, menatap si cowok dengan mata yang kali ini tegas.
“Mas, tolong balikin bukunya. Nggak lucu kalau bercandanya sampai ganggu orang,” ucapnya. Suaranya tetap tenang, tapi jelas dan tegas.
Si cowok sempat terdiam, lalu tertawa kaku. “Santai kali, cuma bercanda.”
“Bercanda itu kalau dua-duanya senang. Kalau salah satunya nggak nyaman, itu namanya ganggu,” jawab Wida pelan tapi mantap.
Akhirnya buku itu dikembalikan, dan mereka pergi. Wida melanjutkan langkahnya seperti tidak terjadi apa-apa.
Joe yang dari tadi memperhatikan, entah kenapa merasa kagum. Tenang, tapi kalau perlu, bisa pasang batas. Itu sesuatu yang jarang ia lihat.
Beberapa menit kemudian, saat Wida kembali ke kelas, Joe memanggil dari belakang.
“Tadi keren banget,” ucapnya sambil menyandarkan badan di kursi.
Wida menoleh. “Apanya?”
“Ya cara kamu ngomong ke dua cowok tadi. Tegas, tapi nggak marah-marah. Kalau aku sih udah keburu njungkel ne.”
Wida tersenyum tipis. “Nggak perlu marah kalau bisa jelasin baik-baik. Kadang orang cuma butuh diingetin.”
Joe tertawa kecil. “Wah, bijak sekali, Bu Ustadzah.”
Sejak kejadian itu, obrolan mereka mulai lebih sering terjadi, dan sering bercanda Tidak hanya di kelas, tapi juga saat istirahat. Joe mulai tahu kalau Wida suka menulis kata kata di buku tulis bergaris, dan Wida mulai tahu kalau Joe sebenarnya punya banyak cerita lucu dari masa SD dan SMP—meski dibalut dengan masa lalu yang nggak mudah.
Hari-hari berikutnya, Joe mulai merasa kalau kehadiran Wida membuat kelasnya… berbeda. Lebih hangat, lebih hidup, tapi juga tetap tenang.
Dan Joe mulai semangat untuk masuk sekolah,
Sudah sebulan sejak pembagian kelas baru. Joe semakin terbiasa melihat Wida di kursi dekat jendela itu—dengan jilbabnya yang berganti warna putih maupun coklat, tapi senyum yang selalu sama.
Awalnya, Joe menganggap Wida hanya teman baru yang menyenangkan untuk diajak bicara dan melupakan kisah kelam nya. Tapi perlahan, sesuatu berubah. Dia mulai memperhatikan hal-hal kecil: cara Wida memiringkan kepala saat mendengarkan, kebiasaan membenarkan jilbab ketika gugup, atau tatapan fokusnya saat menulis catatan.
Joe tidak pernah bilang ke siapa pun. Bahkan ke zhulis atau phur, sahabatnya yang biasanya tahu semua urusan pribadinya. Ia memilih menyimpannya rapat-rapat, seperti rahasia yang hanya boleh diketahui dirinya sendiri.
Di rumah, setiap malam, Joe punya kebiasaan baru. Ia membuka buku tulis kecil yang dulu jarang terpakai, lalu menulis puisi-puisi singkat. Bukan puisi cinta yang terang-terangan, tapi lebih ke kata-kata kagum yang tersamarkan.
> “Ada yang tak bisa kugambarkan,
Seperti senyum yang tak sengaja kau tinggalkan di pikiranku.
Bukan karena aku ingin mengingatnya,
Tapi karena ia memilih menetap sendiri.”
Kadang, ia menulis sambil tertawa sendiri. Gila, sejak kapan gue jadi kayak penyair cinta patah hati? pikirnya. Tapi entah kenapa, menulis saat ini begitu terasa menyenangkan—seperti caranya untuk dekat dengan Wida tanpa benar-benar mendekat.
Di sekolah, Joe tetap bersikap biasa. Dia tetap suka bercanda, tetap usil melempar komentar dari belakang. Bedanya, setiap kali Wida tersenyum atau menoleh karena ulahnya, Joe merasa seperti dapat hadiah kecil yang cuma dia mengerti nilainya.
Suatu siang, saat pelajaran Bahasa Indonesia, guru meminta semua siswa membuat puisi bebas di kelas. Kebanyakan menulis seadanya, tapi Joe menunduk serius, menulis cepat seperti orang yang sudah lama menyimpan kata.
Ketika dikumpulkan, guru sempat berhenti membaca puisinya. “Joe, ini punyamu. Inspirasi dari mana?”
Joe tersenyum singkat. “Dari jendela, Bu.”
Wida yang duduk dekat jendela tak sadar bahwa “jendela” yang dimaksud Joe… adalah dirinya.
Bagi Joe, menyukai Wida bukan soal ingin memiliki. Bukan pula tentang mengubah diri agar diperhatikan. Ia hanya ingin menikmati rasa itu, menjaga dari jauh, dan membiarkannya tumbuh di antara halaman-halaman puisi yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.
Semakin hari, kebiasaan Joe menulis puisi makin menjadi-jadi. Satu buku kecilnya kini sudah penuh dengan tulisan. Lalu dia membeli buku baru—dan itu pun perlahan terisi puluhan puisi. Semua tentang Wida.
Tentang senyumnya yang sederhana.
Tentang akhlaknya yang selalu membuatnya kagum.
Tentang hijabnya yang membuatnya terlihat anggun di mata Joe.
Namun tidak satu pun dari puisi itu ia tunjukkan langsung kepada Wida.
Sampai suatu malam, Joe punya ide iseng: mengirimkan puisinya ke Radio Asri, stasiun radio lokal yang sering membacakan kiriman pendengar, lengkap dengan salam dan lagu. Ia mengirimnya lewat pesan singkat, menulis dengan hati-hati agar terdengar puitis, tapi tidak menyebut nama.
> “Untuk seseorang yang menjaga pandangannya,
yang senyumnya seperti pagi—hangat, tapi tidak membakar.
Semoga selalu ada cahaya di langkahmu.”
Salam dari: ku
Huruf “inisial W” hanyalah singkatan iseng dari “Si anak lelaki yang kagum pada W…” — inisial yang hanya Joe tahu maksudnya.
Malam itu, suara penyiar radio membacakan puisinya dengan intonasi yang pas. Joe tersenyum sendiri di kamar, membayangkan bagaimana rasanya kalau Wida mendengarnya.
Tapi dunia sekolah kecil. Keesokan harinya, beberapa teman yang juga pendengar Radio Asri mulai heboh di kelas.
“Eh, lu denger nggak tadi malam? Ada puisi keren banget, tapi salamnya ‘buat W’. W-nya siapa ya?”
“Kayaknya sih… Wida,” bisik salah satu teman sambil melirik ke arah bangku dekat jendela.
Joe pura-pura cuek, memainkan pulpen dan tertawa bersama. “Ah, bisa aja. Banyak kali orang berinisial W.”
Tapi tatapan usil teman-temannya mulai mengikuti setiap kali ia dan Wida ngobrol.
Wida sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda tahu. Dia tetap ramah seperti biasa, menyapa Joe saat masuk kelas, membalas candaannya, dan fokus pada pelajaran. Tapi entah kenapa, Joe mulai merasa sedikit was-was—seolah rahasianya perlahan mulai merembes keluar dari buku puisinya, terbang lewat gelombang radio, dan mendarat di telinga orang-orang.
Malam berikutnya, Joe tetap mengirim puisi ke Radio Asri. Kali ini lebih singkat:
> “Kepada mata yang menunduk dengan indah,
jangan biarkan dunia mengubah caramu memandang.”
Kukirimkan untuk W.
Dan lagi-lagi, gosip kecil di sekolah semakin ramai.
Sudah hampir tiga bulan sejak puisi “berinisial W” pertama kali mengudara di Radio Asri. Hampir setiap dua atau tiga malam sekali, pendengar setia bisa mendengar suara penyiar membacakan kata-kata indah itu—selalu diakhiri dengan salam yang sama.
Di sekolah, gosip semakin sulit dibendung. Beberapa teman mulai terang-terangan menggodai.
“Joe… Joe… semalam kok puisinya manis banget? Jangan-jangan buat si W di pojok jendela itu?” kata achmad sambil menyikutnya.
Joe hanya tertawa, meneguk air mineral. “Bisa aja lu. Gue mah bukan tipe romantis.”
Tapi tawa itu terdengar terlalu ringan untuk dianggap sungguhan.
Siang itu, di kantin, Wida sedang duduk bersama Arin, sahabatnya dekat dan satu meja. Arin menyuap nasi soto,sambil membuka percakapan, “Wid, lu pernah denger Radio Asri nggak?”
“Kadang. Kenapa?” tanya Wida.
“Lagi rame, ada yang kirim puisi buat cewek berinisial W. Nih, semalam puisinya gini—” arin langsung menirukan beberapa baris yang ia hafal.
Wida terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis. “Bisa aja orangnya. W kan banyak.”
“Iya sih,” jawab arin, “tapi kalau liat cara penulisannya, kayaknya anak sini deh.”
“Ah, cuma feeling doang,” Wida mencoba menutup pembicaraan, tapi dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran yang mulai tumbuh.
Malamnya, Wida sengaja memutar Radio Asri sambil mengerjakan PR. Tepat pukul sembilan lewat sepuluh menit, suara penyiar membacakan di kirimkan buat W” lagi:
> “Aku tidak pernah tahu,
apakah aku mengagumimu atau belajar darimu.
Yang pasti, setiap kali melihatmu,
aku merasa sedang berada di tempat yang benar.”
Salam dari ku untuk W
Wida terdiam, matanya terpaku pada buku catatan. Kata-kata itu sederhana, tapi ada kehangatan yang aneh—seolah si pengirim benar-benar mengenalnya.
Besok paginya di kelas, Wida tanpa sadar memperhatikan Joe sedikit lebih lama dari biasanya. Joe tetap santai, bercanda dengan Zhulis, phur, dan achamad, tapi ada satu momen ketika pandangan mereka bertemu. Joe cepat-cepat memalingkan wajah.
Dalam hati, Wida bertanya-tanya, Apa mungkin… dia?
Sejak mendengar langsung puisi “untuk W” di radio, Wida mulai punya kebiasaan baru: memutar Radio Asri setiap malam. Awalnya hanya karena penasaran, tapi lama-lama ia mulai menunggu, seperti ingin membuktikan bahwa kiriman itu bukan kebetulan.
Dan benar saja—setiap dua atau tiga malam sekali, puisi itu muncul lagi. Tidak pernah menyebut nama, tapi selalu ada nuansa yang… akrab.
Di sekolah, Wida mencoba mengamati satu per satu teman laki-laki di kelas. Dari caranya bicara, selera humornya, sampai gaya menulis di buku catatan.
Sampai suatu hari, guru Bahasa Indonesia membagikan tugas membuat puisi di kelas. Saat semua siswa menulis seadanya, Wida memperhatikan Joe di bangku belakang yang menunduk serius, menulis cepat seolah kata-kata itu sudah lama menunggu keluar.
Penasaran, Wida berpura-pura menunggu di depan kelas setelah jam pelajaran selesai. Saat Joe keluar, ia menyapa santai, “Tugas puisinya udah selesai?”
“Udah, dong. Ntar dikumpulin minggu depan,” jawab Joe sambil nyengir.
“Boleh baca?” tanya Wida, setengah bercanda, setengah menguji.
“Waduh, nggak bisa. Nanti ketahuan kualitas puisiku yang pas-pasan,” elak Joe sambil mengangkat tangan seperti menyerah.
Wida tersenyum kecil, tapi di kepalanya alarm kecil berbunyi. Hmm… kenapa dia menghindar, ya?
Beberapa hari kemudian, Wida sengaja memancing pembicaraan saat jam istirahat.
“Kemarin aku denger radio lagi, ada puisi dari untuk W. Kayaknya dia orang yang perhatian banget, ya?”
Joe meneguk air mineral, menahan senyum. “Mungkin aja. Atau mungkin dia cuma iseng.”
“Iseng tapi konsisten?” tanya Wida sambil melirik.
“Ya… mungkin orangnya suka main teka-teki,” jawab Joe santai, lalu mengalihkan topik ke bahasan tugas sekolah.
Tapi begitu Wida menoleh ke arah lain, Joe menarik napas pelan. Dia tahu Wida mulai mendekati kebenaran.
Malam itu, Joe tetap mengirim puisi ke radio, tapi kali ini ia mencoba membuatnya sedikit lebih samar:
> “Aku berdiri di antara rahasia,
dan doa yang tak pernah kuucap di depanmu.
Biarlah angin yang membawanya,
entah sampai atau tidak.”
Salam untuk: W.
Di kamarnya, Wida mendengar bait itu sambil memegang buku catatannya. Dia tersenyum tipis.
“Kalau ini bukan Joe… aku nggak tahu lagi siapa,” gumamnya pelan.
Beberapa minggu terakhir, tatapan Wida pada Joe sudah berbeda. Bukan lagi sekadar teman sekelas yang mengajak bercanda. Ada rasa ingin tahu… tapi juga ada jarak yang ia jaga.
Di sisi lain, gosip tentang Joe dan Wida semakin ramai. Hampir setiap kali Joe mengirim puisi ke Radio Asri, teman-teman yang mendengarnya langsung mengaitkannya dengan Wida. Bahkan beberapa berani menggodai mereka di depan kelas.
Suatu siang, saat jam istirahat, Wida sedang duduk di taman sekolah bersama Arin—teman dekatnya di kelas dua ini. Arin menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wid, aku mau nanya… jujur ya,” kata Arin pelan.
“Apa?”
“Kalau… misalnya Joe suka sama kamu, kamu mau?”
Wida terdiam. Pandangannya jatuh ke tanah, jarinya memainkan ujung jilbab. “Aku… belum bisa nerima,” jawabnya akhirnya.
“Kenapa? Dia orangnya baik, loh,meski gayanya suka hatinya ” desak Arin.
“Aku tahu. Tapi… aku belum siap. Lagian, perasaan itu kan nggak bisa dipaksain, tapi entah lah”
Arin mengangguk pelan, lalu mengganti topik. Tapi di kepalanya, ia menyimpan informasi itu. Dan entah kenapa, sore harinya, informasi itu terlanjur sampai ke telinga orang lain.
Di kantin, Arin sedang ngobrol dengan Zhulis—teman sekelas yang juga dekat dengan Joe. Percakapan ringan itu tanpa sadar berubah serius.
“Loh, jadi Wida udah tahu kalau Joe suka dia?” tanya Zhulis.
“Kayaknya udah, sih. Dia tadi jawab belum bisa nerima, Mukin sudah ada yang lain” kata Arin tanpa sadar bahwa ucapannya akan diteruskan.
Seperti dugaan, sore itu juga, Zhulis bertemu tangga habis pramuka.
“Bro, gue cuma mau bilang… kayaknya Wida belum bisa nerima kalau lu suka dia,” ucap Zhulis pelan.
Joe yang sedang memegang buku sambil di gulung, Tangannya berhenti bergerak, tapi wajahnya berusaha tetap santai.
“Oh gitu…” katanya singkat, lalu tersenyum tipis. “Ya nggak apa-apa, bro. Namanya juga rasa, nggak harus dibales.”
Zhulis menepuk bahunya. “Lu nggak apa-apa?”
“Gue? Santai aja. Gue kan nggak pernah berharap lebih. Nulis puisi aja udah cukup buat gue,” jawab Joe sambil memasang helm.
Tapi saat melangkah keluar gerbang sekolah, dadanya terasa sesak. Malam itu, dia membuka buku puisinya, menulis tanpa banyak berpikir:
> “Tak semua rasa perlu berlabuh,
sebagian cukup mengapung di tengah laut.
Dilihat dari jauh,
tanpa pernah dimiliki.”
Menjauh untuk Tetap Dekat
Sejak kabar itu sampai ke telinganya, Joe mulai mengubah cara bersikap. Dia tidak lagi sering memanggil Wida dari belakang atau menggodanya dengan komentar santai. Bukan karena sakit hati… tapi karena ia takut Wida merasa terganggu dan akhirnya benar-benar menjauh.
Di kelas, Joe tetap bersikap biasa, bercanda dengan teman-temannya, tapi ada garis tak terlihat yang ia tarik di antara dirinya dan Wida. Kalau dulu ia sengaja mencari alasan untuk ngobrol, kini ia hanya bicara saat perlu. Kalau dulu ia sering melirik diam-diam, kini ia melakukannya lebih hati-hati, cukup sekilas agar tidak ketahuan.
Bagi Joe, mencintai Wida tidak berarti harus selalu berada di sisinya. Kadang, justru berarti menjaga jarak, supaya dia bisa tetap melihat Wida tanpa kehilangan kesempatan untuk tetap menjadi teman.
Malam-malamnya masih sama: ditemani buku tulis dan lampu meja yang temaram. Tapi puisi-puisi yang ia tulis kini semakin penuh rasa—lebih jujur, lebih berat.
> “Aku ingin dekat,
tapi jarak adalah satu-satunya cara
agar kau tak berpaling.”
> “Cintaku seperti hujan di malam hari,
jatuh pelan tanpa suara,
hanya meninggalkan basah di hatiku sendiri.”
Setiap bait menjadi tempat Joe menyimpan perasaan yang tidak berani ia ucapkan. Semakin hari, semakin banyak halaman yang terisi, seakan buku itu satu-satunya saksi yang benar-benar mengerti.
Kadang, saat mendengar tawa Wida dari jauh, Joe tersenyum sendiri. Di dalam hatinya, ia berkata, Selama dia bahagia, aku nggak apa-apa.
Namun, meski bibirnya berkata begitu, pena di tangannya terus menulis—seperti ada bagian dari dirinya yang tidak mau menyerah, walau cintanya hanya bisa hidup dalam diam.
Kembali Satu Kelas, Tapi Jauh
Tahun ajaran baru dimulai. Aula sekolah ramai dengan siswa kelas 3 yang saling mencari nama di daftar pembagian kelas. Joe berdiri di depan papan pengumuman, matanya bergerak pelan. 3 IPA —dan di sana, di baris yang sama, ada nama Widayanti
Sejenak dadanya berdebar. Setelah satu tahun hanya melihat dari kejauhan, kini mereka kembali satu kelas. Tapi anehnya, yang ia rasakan bukan hanya senang… ada juga rasa takut. Takut kalau kedekatan itu justru membuat Wida merasa terbebani.
Hari pertama masuk, Joe melihat Wida duduk di barisan tengah. Senyumnya tetap sama, hangat seperti dulu, menyapa semua orang dengan ramah. Joe membalas dengan anggukan kecil, lalu memilih duduk di bangku belakang—cukup jauh, tapi masih bisa melihatnya.
Sejak itu, Joe memutuskan: ia akan menjaga jarak. Bukan karena benci, bukan karena ingin menghindar, tapi karena ia ingin Wida merasa nyaman. Ia ingin hadir… tapi tidak terlalu dekat.
Hari-hari berjalan. Kadang Wida menoleh dan menyapa, kadang mereka bertukar kata saat membahas pelajaran, tapi Joe selalu menjaga batas. Tidak ada lagi candaan iseng seperti dulu, tidak ada lagi panggilan dari belakang kelas.
Namun, rasa rindu justru makin menggebu. Melihat Wida tertawa bersama teman-temannya, Joe ingin ikut tertawa. Melihat Wida menulis di buku, Joe ingin tahu apa yang ia tulis. Tapi semua itu ia simpan sendiri.
Malam-malamnya masih setia ditemani buku puisi. Puluhan halaman baru terisi, setiap baitnya seperti menampung semua yang ia pendam.
> “Kita satu kelas lagi,
tapi rasanya seperti duduk di dua dunia berbeda.
Aku memilih diam,
agar kau tak merasa aku terlalu dekat.”
> “Ada rindu yang tak berani menyentuh,
hanya berkeliling di tepi,
memandangi dari jauh
takut membuatmu menjauh.”
Kadang, saat pelajaran membosankan, Joe menulis puisi di pojok buku catatan fisika atau kimia. Hanya satu atau dua baris, tapi cukup untuk menenangkan dadanya.
Bagi Joe, duduk di kelas yang sama dengan Wida adalah kebahagiaan yang ia jaga dalam diam. Ia tahu, tahun terakhir ini mungkin jadi yang terakhir mereka bersama. Dan untuk itu, ia lebih memilih menjadi bayangan yang tenang di belakang—daripada cahaya yang terlalu menyilaukan di depan mata Wida.
Bersambung ( Kalau g lupa)