Senin, 11 Agustus 2025

gadis berjilbab


 
Di balik kain yang anggun terbentang,
Tersembunyi binar mata yang tenang.
Senyum manis laksana rembulan,
Menyirami hati yang kekeringan.
 
Jilbabmu bukan sekadar penutup kepala,
Namun mahkota yang memancarkan cahaya.
Simbol kesucian, kehormatan, dan harga diri,
Membuatmu semakin berseri-seri.
 
Langkahmu ringan, penuh percaya diri,
Menghadapi dunia dengan hati yang murni.
Tutur katamu lembut, penuh kasih sayang,
Menyejukkan jiwa yang sedang bimbang.
 
Pesona gadis berjilbab sungguh memikat,
Bukan hanya paras, namun juga akhlak.
Semoga dirimu selalu dalam lindungan-Nya,
Menjadi inspirasi bagi sesama.

Di balik gemulai kain yang menaungi,
Tersembunyi mutiara kalbu bersemi.
Netra teduh, pancarkan kedamaian,
Senyum merekah, laksana mentari pagi.
 
Jilbabmu bukan sekadar tirai dunia,
Namun kemilau mahkota bertahta mulia.
Lambang kesucian, terpatri di jiwa,
Memancarkan aura, memesona sukma.
 
Jejak langkahmu bagai titah sang waktu,
Menyusuri hari dengan anggun dan syahdu.
Untaian kata bagai kidung merdu,
Menyentuh relung, menenangkan kalbu.
 
Pesona dalam balutan kain surga,
Bukan sekadar rupa, namun budi pekerti utama.
Semoga naungan-Nya selalu menyertai,
Menjadi teladan, sepanjang hayat ini.

Di balik gemulai kain yang menaungi,
Tersembunyi telaga kalbu yang bening.
Netra teduh, pancarkan rembulan malam,
Senyum merekah, laksana fajar yang terbit perlahan.
 
Jilbabmu bukan sekadar pembatas dunia,
Namun perisai jiwa, dari panah nestapa.
Lambang kesucian, terukir dalam sukma,
Memancarkan pesona, seindah pelangi senja.
 
Jejak langkahmu bagai melodi kehidupan,
Menyusuri hari dengan keanggunan.
Untaian kata bagai embun pagi yang sejuk,
Menyirami hati, menghilangkan dahaga.
 
Pesona dalam balutan kain purnama,
Adalah cermin budi pekerti utama.
Kau adalah lentera, di tengah gulita,
Menuntun langkah, menuju ridha-Nya.

permata

Permata yang Indah

Kau adalah cahaya yang jatuh dari langit senja,
menggantung di antara harapan dan jarak yang tak terjangkau.
Indahmu bukan sekadar rupa,
tapi getar yang merambat halus ke dalam jiwa.

Aku melihatmu seperti melihat permata di balik kaca,
berkilau, sempurna,
namun terpisah oleh dinding tak kasat mata
yang tak berani kuterobos.

Aku hanya pengembara di tepi cahaya,
memandang tanpa menyentuh,
mengagumi tanpa berharap balas,
sebab aku tahu—beberapa keindahan diciptakan
untuk dinikmati dari jauh.

Dan bila waktu kelak mencatat kisah ini,
biarlah ia menulis namamu
sebagai permata terindah
yang pernah singgah di hatiku,
meski tak pernah menjadi milikku.



Kunjungi juga blooger saya

https://coretantakbermakna82.blogspot.com/2025/08/permata-berbalut-bunga.html

Terimakasih

Minggu, 10 Agustus 2025

Aku Hanya Manusia Hina

Aku…
Hanya sebutir debu kotor
Yang berani menantang angin kasih-Mu
Lalu jatuh, remuk, tanpa daya

Aku…
Hanya segumpal daging penuh dosa
Yang berulang kali Kau beri kesempatan
Namun selalu memilih jalan yang menusuk-Mu

Lidahku pernah berjanji untuk setia
Tapi kakiku berlari menjauh dari-Mu
Tanganku pernah terangkat dalam doa
Tapi hatiku berpaling pada dunia

Ya Allah…
Aku malu menyebut nama-Mu
Karena tiap sujudku
Masih menyisakan aroma maksiat yang busuk

Namun…
Jika Engkau mau menghapus namaku dari daftar-Mu
Maka tak ada lagi tempat untukku pulang
Selain api yang membakar tanpa henti

Tapi jika…
Engkau masih mau mengingatku
Meski sekadar dari balik tirai murka-Mu
Maka biarkan aku menangis di pintu-Mu
Hingga Kau izinkan aku masuk
Meski hanya sebagai hamba yang hina

Sabtu, 09 Agustus 2025

Bunga yang Terlalu Indah

Di lorong sempit sekolah kita
Langkahmu tenang, jilbabmu berkibar pelan
Matamu menunduk, namun cahaya
Menyusup ke dadaku yang rapuh

Aku hanya duduk di sudut kelas
Menatapmu lewat jendela
Berpura-pura sibuk menulis,
Padahal aku sedang menghafal setiap gerakmu

Bunga yang terlalu indah tak pernah kupetik
Bukan karena tak ingin,
Tapi karena takut kelopaknya layu
Jika kugenggam dengan tangan yang gemetar

Di antara tumpukan buku dan suara bel,
Aku titipkan namamu pada angin
Membiarkannya terbang
Ke langit yang kau pandang saat senja

SMA berlalu seperti mimpi
Dan aku tetaplah si pengecut yang
Hanya berani mencintaimu
Dalam diam yang panjang


Bunga yang Terlalu Indah

Di bangku kayu kelas dua B
Aku mengenalmu—gadis berjilbab sederhana
Yang senyumnya lebih manis dari lagu-lagu
Yang sering ku-request di radio malam minggu

Waktu itu,
Tak ada pesan singkat, tak ada status
Hanya suara DJ di ujung siaran
Membacakan salam yang tak pernah menyebut namamu terang-terangan

“Untuk seseorang di kelas sebelah…
Semoga hari ini kamu tersenyum,”
Begitu kataku lewat udara
Sambil berharap kau mengerti isyaratnya

Setiap pagi, kulihat langkahmu masuk gerbang
Membawa cahaya yang mengalahkan matahari
Dan aku—si lelaki yang suka bercanda—
Mendadak kehilangan kata-kata jika berhadapan denganmu

Bunga yang terlalu indah tak kupetik
Karena takut durinya menyadarkan
Bahwa aku hanyalah pengagum dari kejauhan
Bukan seseorang yang kau nantikan

Sampai akhirnya
Hari-hari SMA hanyut seperti lagu lama
Dan aku masih mengingatmu
Sebagai doa yang tak pernah kuselesaikan

Bunga yang Terlalu Indah

Bel istirahat baru saja berbunyi, dan suasana kelas dua B seperti pasar kecil. Suara tawa, bunyi gesekan kursi, dan dentingan sendok mengenai tutup kotak bekal bercampur jadi satu. Aku duduk di kursi dekat jendela, pura-pura sibuk mencatat pelajaran yang tadi pun belum selesai kutulis.

Dari pojok mataku, aku melihatnya. Wida.
Jilbab putihnya tergerai rapi, menutupi sebahagian bahu. Dia berjalan pelan menuju meja Arin, sahabat sebangkunya, sambil membawa bekal kecil. Tidak ada yang istimewa, kecuali bagiku—setiap gerakannya seperti melambatkan waktu.

Aku menunduk, pura-pura fokus. Tapi jantungku seperti radio tua yang bunyinya serak-serak basah: degupnya tidak karuan.

Waktu itu belum ada ponsel pintar. Cara paling berani yang bisa kulakukan hanyalah menitip salam lewat radio lokal setiap malam Minggu.
Biasanya begini:

"Halo Kak DJ, salam buat seseorang di kelas sebelah. Semoga besok paginya cerah seperti senyumnya."

Aku tahu, itu terlalu samar.
Aku takut menyebut namanya.
Takut teman-temannya akan menggodanya. Takut dia tahu dan kemudian menjauh.

Kadang, saat DJ membaca salam itu, aku membayangkan dia di rumahnya.
Mungkin sedang mengerjakan PR, mungkin menulis di buku diary-nya, lalu terhenti sejenak, bertanya-tanya—apakah salam itu untuknya?

Hari-hari SMA terus berjalan seperti kaset pita yang diputar berulang-ulang. Aku selalu di sini, di kursi yang sama, menjadi penonton diam untuk sebuah panggung kecil bernama Wida.

Aku tak pernah berani bilang.
Karena bunga yang terlalu indah, rasanya tak pantas kucoba genggam dengan tangan penuh ragu.

Dan akhirnya, kelulusan datang.
Kami berpisah tanpa kata.
Dia melangkah dengan senyum yang sama, dan aku hanya menatap punggungnya, menyadari… mungkin beberapa lagu di radio tak akan pernah terdengar sama lagi.

AKULAH ELANG KESEPIAN





Akulah Elang Kesepian
di puncak langit aku terbang sendiri,
menyusuri awan, menantang sunyi,
sayapku lebar, mataku tajam,
namun hatiku perih, diam-diam.

tak ada kawanan yang ikut terbang,
hanya angin yang jadi kawan,
di bawah, hutan memanggil-manggil,
tapi aku terlalu tinggi untuk kembali.

aku menjerit, bukan karena gagah,
tapi karena rindu yang tak pernah reda.
langit luas, tapi terasa sempit
bila kesendirian jadi satu-satunya sempit.

pernah aku percaya pada fajar,
bahwa cahaya bisa jadi penawar,
namun senja selalu datang cepat,
dan malam membawa sunyi yang lekat.

akulah elang—raja yang tak bertakhta,
penguasa langit tanpa siapa-siapa,
terbang tinggi, tapi kosong di dada,
menyendiri, karena tak ada yang sudi menyapa.

Akulah Elang Kesepian

Di antara cakrawala dan sunyi,
akulah elang—bukan sekadar burung,
melainkan tanya yang tak henti melayang
tentang arti tinggi, dan makna sepi.

Mereka bilang langit adalah kebebasan,
tapi mengapa angin terasa dingin
saat tak ada yang menyambut
di ujung setiap penerbangan?

Kukuku tajam, sayapku kuat,
namun siapa yang kupatahkan selain waktu?
Aku terbang bukan mencari mangsa,
melainkan mencari diriku yang hilang di antara awan.

Di puncak dunia, semua tampak kecil—
ambisi, cinta, bahkan luka.
Tapi justru di sanalah,
kesendirian menjelma paling besar.

Aku bukan makhluk yang terbuang,
aku adalah pilihan—
seperti sunyi yang tak bisa ditawar
oleh keramaian yang semu.

Akulah elang kesepian,
bukan karena tak ada sarang,
tapi karena kutahu:
tidak semua yang tinggi itu bebas,
dan tidak semua yang sendiri itu lemah.


#############


Akulah Elang Kesepian Tanpa Arah

Akulah elang
terbang di langit yang tak pernah menatapku kembali
sayapku lelah, tapi angin tetap memanggil
membawaku jauh, entah ke mana

Di bawahku, dunia berputar
dengan suara-suara yang tak lagi kupahami
hutan, gunung, dan sungai
hanya bayang yang kulalui
tanpa pernah singgah

Aku mencari cakrawala
tapi ia terus bergeser, menjauh
seperti janji yang tak pernah ditepati
seperti nama yang hanya terucap di hati

Akulah elang kesepian tanpa arah
tak ada kawanan, tak ada sarang
hanya langit luas
dan rasa rindu yang tak tahu pulang.


Jumat, 08 Agustus 2025

Maafkan Aku

Maafkan aku
bila langkahku
mengetuk pintu hatimu
di saat kau ingin sunyi.

Maafkan aku
bila kata-kataku
terjatuh seperti hujan
di taman hatimu yang tak siap basah.

Aku tak bermaksud
mengusik damai yang kau rawat,
hanya saja rindu
kadang tak tahu aturan.

Bila perlu
hapuslah jejakku
dari halaman harimu,
asal kau tahu
aku datang
bukan untuk melukai

Maaf
Maafkan aku,
jika hadirku
hanya jadi gangguan
di hidupmu.
Aku pergi…
tapi rinduku
tetap tinggal.


Di antara hijau yang merenda bukit,
Embun menitik di ujung daun sunyi,
Burung-burung menari di udara bening,
Namun jiwaku, entah di mana berdiam diri.

Langit biru membentang tanpa cela,
Sungai berdesir mengusap batu-batu tua,
Aku duduk, menatap jauh,
Seperti mencari sesuatu yang tak pernah tiba.

Indahnya alam merangkul ragaku,
Tapi hatiku tetap asing di pelukannya,
Gunung ini tinggi,
Namun sepi di dadaku jauh lebih menjulang.

Sunyi di Kaki Gunung

Di punggung gunung,
angin melantunkan zikir rahasia,
daun-daun bertasbih,
air sungai membaca ayat-ayat tanpa suara.

Namun aku,
duduk di antara keindahan ciptaan-Nya,
merasa hampa
seperti bejana retak yang tak mampu menampung cahaya.

Langit biru memanggil,
tapi pandanganku redup oleh debu hati,
burung-burung kembali ke sarang,
sementara jiwaku masih mencari rumahnya.

Mungkin,
bukan gunung yang jauh dariku,
tapi aku yang menjauh dari Pencipta gunung itu.

Di ujung lelah,
aku rebahkan hati di tanah yang sejuk,
menghela napas panjang,
membiarkan angin gunung menyapu resahku.

Kupejamkan mata,
mendengar bisik bumi:
"Dia selalu dekat, bahkan saat kau jauh."

Air mata jatuh,
membasuh retak di dalam dada,
setiap tetesnya menjadi doa,
mengalir menuju samudra ampunan.

Kini,
burung-burung itu tak lagi sekadar bernyanyi,
mereka bercerita tentang syukur.
Gunung tak hanya megah di hadapan mata,
tapi juga kokoh di dalam jiwa.

Dan aku mengerti,
di tengah alam yang indah ini,
hatiku tak lagi hampa—
karena telah kembali kepada-Nya.
Aku Menemukanmu

Aku menemukanmu
di antara riuh yang tak pernah selesai,
seperti embun yang jatuh diam-diam
di kelopak hatiku yang retak.

Kau menatapku
tanpa meminta aku menjadi apa pun,
hanya menjadi manusia
yang mau belajar mencinta.

Lalu,
perlahan aku merobohkan ego
yang kukira bentengku,
ternyata hanyalah tembok penghalang
menuju dirimu.

Di hadapanmu,
aku belajar kalah,
bukan karena lemah,
tapi karena menang
tak pernah berarti apa-apa
tanpa kau di sisiku.
Aku yang Tak Bisa Sempurna

Aku berjalan di jalan retak
menyusun harap dari serpih-serpih hati
setiap langkah adalah tanya
mengapa aku tak pernah cukup di mata dunia

Aku belajar tersenyum di tengah luka
membungkus cacat dengan kata-kata indah
tapi di malam sunyi,
air mata mengalir tanpa perlu alasan

Aku bukan bintang yang gemerlap
bukan matahari yang selalu menghangatkan
aku hanyalah rembulan yang purnamanya jarang
kadang redup, kadang hilang di telan mendung

Jika sempurna adalah langit tanpa awan
maka aku adalah langit setelah hujan—
basah, rapuh, namun jujur adanya
tak elok, tapi nyata

Dan biarlah aku tetap begini
karena di setiap retak dan kurangku
ada ruang bagi cinta untuk tinggal
dan Tuhan untuk melengkapi

Aku bukan langit biru
aku adalah mendung yang tersendat hujan

Aku bukan bunga mekar
aku adalah duri yang tetap bertahan

Aku tak indah,
tak lengkap,
tak selalu benar—

tapi di celah-celah cacatku
Tuhan menulis cintanya.

Aku berjalan dalam bayangan
menggendong sunyi yang beratnya tak terhitung
setiap langkah terasa seperti kesalahan baru

Aku menatap cermin
dan melihat seseorang yang asing
terlalu hancur untuk disembuhkan
terlalu lelah untuk bertahan

Mereka ingin aku jadi cahaya
padahal aku bahkan tak tahu
bagaimana caranya menyala

Jika cacat ini adalah dosa
maka aku adalah kitab
yang penuh halaman-halaman salah tulis
namun tak pernah bisa dihapus

Dan jika sempurna tak pernah menjadi milikku
biarlah aku tenggelam
sebagai diriku yang retak
bukan topeng yang mereka cintai.

Aku tak lahir untuk menaklukkan segalanya
tak semua mimpi bisa kugenggam
tak semua luka bisa kuobati

Kadang aku jatuh
bukan karena lemah
tapi karena aku manusia
yang hatinya mudah letih

Aku belajar bahwa
kesempurnaan hanyalah cerita
yang dibisikkan dunia
agar kita lupa mencintai diri sendiri

Maka biarlah aku tetap seperti ini
dengan sisa-sisa kekuatan yang kupunya
karena di setiap kurangku
Tuhan menitipkan alasan untuk bersyukur.


novel 2

Lanjutan dari novel 1


Bait yang Tak Sengaja Terbaca

Hari itu pelajaran fisika terasa panjang. Hujan turun deras di luar jendela, suara rintiknya menyatu dengan suara kapur di papan tulis. Wida duduk di bangku tengah, Joe di barisan paling belakang.

Guru sedang menulis soal, dan Joe—seperti biasanya—sibuk mencoret-coret pojok bukunya. Bukan angka, bukan rumus, tapi bait-bait yang mengalir dari hatinya.

> “Aku tak pernah berani berjalan di sisimu,
karena langkahku terlalu pelan,
dan kau terlalu indah
untuk aku sentuh.”



Bel istirahat menggema. Semua bergegas merapikan buku. Joe, yang sedang melipat selembar kertas puisi kecil, tiba-tiba terpanggil oleh temannya di luar kelas. Ia beranjak cepat, meninggalkan bukunya terbuka di meja.

Wida, yang kebetulan lewat di belakangnya untuk menuju pintu, melihat selembar kertas terjatuh ke lantai. Ia membungkuk, mengambilnya. Awalnya ia hanya ingin mengembalikan, tapi matanya tak sengaja menangkap beberapa baris tulisan tangan itu.

Ada rasa yang aneh—hangat sekaligus membuatnya terdiam. Kata-kata itu seperti bukan sekadar puisi. Terlalu jujur, terlalu personal. Dan entah kenapa, bayangan Joe muncul di kepalanya.

Namun sebelum ia bisa membaca sampai habis, Joe kembali masuk, agak terkejut melihat kertas itu di tangan Wida.

“Eh… maaf.. itu… punyaku,” ucapnya pelan sambil tersenyum kaku.

Wida menyerahkannya tanpa banyak kata, hanya mengangguk. “Bagus puisinya,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi.

Joe berdiri memandangi punggungnya. Ada rasa panik, malu, tapi juga bahagia. Dalam hati ia bergumam, Dia membaca… walau cuma sedikit.

Sejak hari itu, Wida mulai memperhatikan Joe lebih sering. Tapi jarak di antara mereka tetap ada—karena Joe tak berani melangkah lebih dekat. Baginya, Wida tetaplah bintang: indah, tapi terlalu jauh untuk digapai.

Dan setiap malam, di kamarnya yang sepi, Joe kembali menulis. Kini ada satu perasaan baru yang menyusup ke setiap baitnya: harapan kecil yang ia takutkan, tapi diam-diam ia pelihara.

> “Kau mungkin membaca sebaris kata,
tapi di baliknya ada ribuan rasa
yang tak pernah sampai padamu.”


Teka-Teki yang Tak Terjawab

Hari-hari di kelas 3 IPA berjalan cepat. Ujian-ujian kecil datang silih berganti, namun di sela kesibukan itu, Wida mulai memperhatikan sesuatu.

Setiap kali pelajaran terasa membosankan, Joe selalu mencoret-coret buku catatan atau kertas kecil. Ia tidak pernah menunjukkan hasilnya pada siapa pun, tapi kadang kertas itu terlihat menumpuk di sudut meja. Dan jika diperhatikan baik-baik, di setiap bait selalu ada ciri yang sama: senyum yang digambarkan lembut, sorot mata yang menenangkan, dan kata “hijab” yang disebut seperti sebuah mahkota.

Wida mulai menyambungkan potongan-potongan ini. Puisi di Radio Asri dulu, kertas yang ia baca secara tak sengaja, dan kebiasaan Joe menulis di kelas. Semuanya terasa mengarah ke satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang.

Namun, Joe tetap seperti biasanya. Santai, suka bercanda dengan teman-teman cowoknya, tapi tak pernah mencoba duduk dekat atau memulai percakapan panjang dengannya. Bahkan saat mereka satu kelompok untuk tugas kimia, Joe hanya bicara seperlunya.

Di balik sikapnya itu, Joe menyembunyikan badai. Ia tahu Wida mungkin mulai menebak-nebak, tapi rasa mindernya masih menahan langkah. Dalam pikirannya, Wida adalah sosok yang sempurna: pintar, sopan, disukai semua orang, dan memiliki aura yang membuatnya seperti tak tersentuh.

Setiap malam, rindu yang tak pernah terucap itu semakin menekan dadanya. Ia menulis lagi—lebih banyak dari sebelumnya. Bahkan kini, setiap dua atau tiga hari, ia mengirim satu puisi ke Radio Asri. Tidak ada nama penerima, hanya bait-bait yang cukup jelas bagi siapa pun yang mengerti.

> “Kau seperti ayat yang tak berani kuucapkan,
takut suaraku tak cukup indah
untuk menyebut namamu.”



> “Jika diamku membuatmu tak mengerti,
biarlah kata-kata ini terbang di udara,
mencari telingamu,
tanpa harus membuat kita berhadapan.”



Wida mendengar beberapa di antaranya. Dan meskipun ia tidak pernah menegur atau bertanya langsung, ada senyum samar yang kadang muncul di wajahnya saat Joe tanpa sadar menatap ke arahnya.

Namun bagi Joe, senyum itu justru membuatnya semakin ragu. Ia takut salah menafsirkan. Ia takut berharap terlalu jauh. Dan karena itu, ia memilih tetap menjadi pengagum rahasia—meski jarak di antara mereka semakin terasa menyiksa.



Usikan yang Membuka Luka Rindu

Suasana kelas siang itu santai. Pelajaran Biologi baru saja selesai, guru keluar, dan murid-murid bebas berbicara. Sebagian sibuk mengerjakan PR, sebagian lagi bercanda.

Di pojok dekat jendela, Arin dan Zhulis duduk mengobrol sambil melirik ke arah Joe yang sedang menulis di bukunya. Keduanya sudah lama tahu kebiasaan itu. Bahkan Arin hampir yakin, isi tulisan Joe pasti lagi-lagi tentang Wida.

“Eh, Rin… coba deh tanya langsung,” bisik Zhulis sambil tersenyum nakal.

Arin mengangguk pelan, lalu berdiri dan berjalan ke arah Joe. Ia sengaja sedikit mengeraskan suara, supaya semua orang bisa dengar.

“Joe…” Arin berhenti tepat di depan meja Joe.
Joe menoleh santai. “Apa, Rin?”

“Kalau aku tanya, kamu jangan bohong, ya.”
Joe menyandarkan tubuhnya ke kursi, tersenyum tipis. “ ok siap Tanya apa sih? Serius amat, ahcmad aja choirudi” jawab nya sambil bercanda

Arin melirik sebentar ke arah Wida yang sedang menulis di mejanya, lalu kembali menatap Joe. “Puisi-puisi kamu itu… buat siapa, sih?”

Kelas langsung riuh. Beberapa teman cowok bersiul menggoda, sementara beberapa yang lain mulai menebak-nebak nama. Joe cuma tersenyum, meskipun jantungnya berdebar tak karuan.

“Rahasia,” jawab Joe singkat sambil menutup bukunya.

“Tapi kalau aku tebak, boleh nggak?” tanya Arin lagi.
“Ya… boleh aja. Tapi kalau salah, jangan baper,” jawab Joe santai.

Arin tersenyum lebar. “Wida, kan?”

Sekeliling langsung ramai. Beberapa teman cewek melirik ke arah Wida, yang terdiam sambil menatap bukunya. Joe hanya terkekeh kecil, tidak mengiyakan, tapi juga tidak menyangkal.

Zhulis menimpali, “Waduh, kalau diam berarti iya tuh…”

Joe tetap tenang, meski wajahnya sedikit memanas. Ia tahu kalau membantah pun tak akan ada gunanya. Jadi ia memilih tetap diam, pura-pura sibuk membereskan buku.

Di bangkunya, Wida berusaha menahan senyum. Ia tidak menatap Joe, tapi dalam hati ia tahu—tebakan Arin mungkin tidak sepenuhnya salah.

Sejak kejadian itu, suasana kelas jadi sedikit berbeda. Teman-teman sering menggoda Joe dan Wida, meski keduanya tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Tapi bagi Joe, setiap candaan itu seperti mengaduk-aduk rindunya yang sudah lama ia pendam.

Dan malam itu, ia menulis lagi.

> “Kau tahu rasanya,
saat namamu disebut di hadapan semua orang,
tapi aku tak bisa berkata ‘ya’
meski seluruh dadaku berteriak mengakuinya?”


Sapaan yang Membuat Gugup

Hari itu matahari terasa terik, suasana kelas agak lengang karena sebagian siswa mengikuti lomba di luar sekolah. Hanya ada beberapa orang yang tinggal, termasuk Joe dan Wida.

Joe duduk di bangku belakang, menulis sesuatu di buku catatan lusuhnya. Sesekali ia menatap ke luar jendela, membiarkan angin siang masuk dan mengacak rambutnya.

Dari depan kelas, Wida memperhatikannya. Sejak kejadian “tebakan Arin” beberapa hari lalu, rasa penasaran dalam hatinya semakin besar. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang ada di pikiran Joe.

Akhirnya, ia memberanikan diri melangkah ke bangku belakang. Joe baru sadar ketika bayangan Wida jatuh di mejanya.

“Lagi nulis apa?” tanya Wida pelan.

Joe tersentak kecil. “Eh… ini? Cuma… coret-coret aja.” Ia buru-buru menutup bukunya.

Wida tersenyum tipis. “Kamu nggak pernah mau kasih lihat, ya?”
Joe menggaruk belakang kepalanya, gugup. “Ngg… itu, nggak bagus cuman coretan coretan kok.”

Suasana hening sebentar. Hanya suara kipas angin yang terdengar. Wida menatapnya dengan ekspresi tenang, tapi tatapan itu justru membuat Joe makin salah tingkah.

“Aku dengar… kamu sering kirim puisi ke Radio Asri,” kata Wida pelan.
Joe mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. “Hehe… iya, kadang-kadang, sekarang dah jarang.”

“Bagus-bagus puisinya,” lanjut Wida. “Aku suka.”

Kalimat itu membuat Joe terdiam. Ia tak tahu harus membalas apa. Dalam kepalanya, ribuan kata berdesakan ingin keluar, tapi mulutnya terkunci oleh rasa minder. Ia hanya mampu tersenyum kecil.

Wida tak menunggu jawaban lebih lama. “Ya udah, aku ke depan lagi,” ucapnya sambil berbalik.

Begitu Wida pergi, Joe memejamkan mata sebentar. Tangannya mengepal di atas meja. Kenapa aku nggak bisa ngomong apa-apa? batinnya.

Malam itu, ia kembali menulis—tapi kali ini puisinya lebih berat dari biasanya.

> “Kau datang membawa sapaan,
dan aku malah menyembunyikan semua kata
yang seharusnya membuatmu mengerti.”



> “Mungkin aku memang pengecut,
tapi bukankah mencintai dalam diam
adalah satu-satunya cara
agar kau tetap tersenyum?”


Bertarung Tanpa Suara Dukungan

Sebelum libur semester 1, Joe ikut kejuaraan pencak silat antar pelajar se-Jawa Tengah yang digelar di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sejak awal, ia punya keinginan sederhana—bisa memberi tahu Wida, lalu mendapat kata-kata dukungan darinya. Hanya itu.

Tapi keinginan itu tak pernah keluar dari bibirnya.
Setiap kali membayangkan mengirim pesan atau sekadar menyapa Wida di sekolah untuk memberi kabar, Joe mengurungkannya. Ia takut dianggap terlalu berharap.

Di hari pertandingan, suasana gedung olahraga penuh riuh suara sorak-sorai. Teman-teman satu tim Joe hampir semuanya punya pacar yang datang memberi dukungan. 

Joe hanya tersenyum melihat itu semua. Tidak ada pasangan yang menunggunya di tribun, tidak ada orang tua yang duduk memandang dari kejauhan memang orangtua g begitu suport. Ia datang hanya bersama pelatih dan beberapa teman sesama atlet.

Saat gilirannya naik ke arena, Joe memejamkan mata sebentar. Dalam hatinya, ia berbisik, Andai Wida tahu… andai dia ada di sini.

Pertandingan berjalan sengit. Lawan-lawannya tangguh, tapi Joe bertarung dengan ketenangan yang jarang ia tunjukkan di luar arena. Setiap tendangan dan pukulan seolah menjadi pelampiasan dari semua rasa rindu, sepi, dan minder yang selama ini ia pendam.

Hingga akhirnya, Joe berhasil melaju ke babak semifinal. Meski langkahnya terhenti di sana karena ibu jari kakinya retak dan bengkak,, ia pulang membawa medali perunggu—juara 3. Itu lebih baik dari kebanyakan rekannya yang gugur di babak penyisihan.

Di perjalanan pulang, ia menatap medali itu lama-lama. Ada rasa bangga, tapi juga kosong. Ia membayangkan, Kalau Wida tahu, apa dia akan tersenyum untukku?

Malamnya, ia menulis puisi lagi:

> “Aku bertarung di tengah sorak orang lain,
tapi suaramu tak pernah terdengar.
Medali ini berat,
tapi akan terasa ringan
jika aku bisa melihatmu bangga.”


Waktu yang Mulai Menghimpit

Semester akhir dimulai. Buku-buku tebal mulai memenuhi meja, jadwal tryout dan jadwal les tambahan di sekolah menempel di papan tulis, dan setiap guru seolah mengingatkan bahwa masa-masa di SMA akan segera berakhir.

Bagi sebagian siswa, ini adalah waktu untuk fokus penuh pada ujian. Bagi Joe, ada satu hal lain yang diam-diam menghimpit dadanya: waktu bersama Wida kian menipis.

Ia tahu, setelah lulus nanti, mungkin mereka akan menempuh jalan yang berbeda. Dan jika itu terjadi, bukan hanya jarak fisik yang memisahkan, tapi mungkin juga semua kesempatan untuk menyampaikan perasaan.

Namun, rasa mindernya masih menahan langkah. Alih-alih berbicara, Joe memilih menuangkannya lagi dalam puisi. Dan kali ini, bait-baitnya terasa lebih dalam, lebih gelap, seperti ketakutan yang mulai nyata.

> “Kita berdiri di ujung waktu,
menatap hari-hari yang menipis
seperti pasir jatuh dari sela jariku.
Aku ingin menahanmu,
tapi takut membuatmu menjauh.”



> “Jika nanti kau tak lagi membaca puisiku,
semoga kau tahu,
setiap hurufnya lahir dari rindu
yang tak pernah sempat bertemu.”



Di kelas, jarak mereka masih sama. Wida tetap bersikap ramah seperti biasanya, tapi Joe selalu menjaga batas. Ia tidak ingin Wida merasa risih di saat-saat terakhir kebersamaan mereka.

Suatu siang, saat hujan deras mengguyur sekolah, Joe duduk sendirian di bangku belakang sambil menatap jendela yang berembun. Suara hujan membuatnya semakin larut dalam pikirannya. Kalau aku tetap diam… mungkin aku akan menyesal seumur hidup, batinnya.

Tapi sebelum ia bisa mengambil keputusan, suara langkah kaki mendekat. Wida lewat di depannya, menatap sebentar, lalu memberi senyum hangat.

Senyum itu membuat Joe sadar—perasaan ini belum siap ia lepaskan. Dan ia tahu, di sisa waktu yang ada, ia akan terus menulis… sampai hari terakhir



Puisi yang Tak Pernah Diberikan

Hari itu sekolah mengadakan acara Perpisahan dan Pelepasan untuk kelas 3 Aula besar dihias dengan lampu gantung sederhana dan pita warna emas. Semua siswa mengenakan seragam terbaik mereka.

Joe duduk di barisan agak belakang, mengenakan kemeja putih agak rapi di banding waktu waktu yang lalu. Di tangannya, ada sebuah kertas lipat kecil. Di dalamnya tersimpan puisi yang ia tulis khusus untuk Wida.

> “Untuk senyum yang selalu kutemui,
meski jarak kita tak pernah mengecil.
Untuk langkahmu yang selalu kutatap dari jauh,
meski kau tak pernah tahu arah mataku.
Dan untuk hari ini—
semoga bahagia selalu menyertaimu,
bahkan tanpa aku di sisimu.”



Ia berencana menyerahkan kertas itu secara diam-diam. Tidak dengan nama, hanya puisi yang mungkin akan dibaca Wida tanpa tahu siapa penulisnya.

Namun, sepanjang acara, ia tak kunjung menemukan keberanian. Saat Wida berjalan lewat, bercakap dengan teman-temannya sambil tertawa, Joe hanya mampu menunduk.

Bayangan masa lalu kembali menghantam pikirannya—waktu di kelas 2, ketika Arin dan Zhulis menyampaikan bahwa Wida belum bisa menerima perasaannya. Momen itu membekas, membuat Joe takut semua akan terulang jika ia mencoba lagi.

Akhirnya, kertas puisi itu tetap ada di sakunya hingga acara usai. Malamnya, di kamar, ia menatap kertas itu lama-lama. Alih-alih memberikannya, ia menaruhnya di dalam kotak kayu kecil, bersama puluhan puisi lain yang tak pernah sampai ke tangan Wida.

Biarlah begini… pikirnya. Cinta ini cukup aku yang tahu.


Cinta yang Tetap di Dalam Hati

Hari kelulusan tiba. Halaman sekolah dipenuhi tenda putih, kursi-kursi tersusun rapi, dan panggung kecil di depan.

Joe berdiri di antara teman-temannya, mencoba tersenyum pada setiap temen yang menyapa. Tapi di dalam hatinya, ia sibuk menghitung waktu. Setelah hari ini, mungkin ia tak akan pernah lagi melihat Wida setiap pagi, duduk di kelas yang sama, atau mendengar suaranya memanggil teman-temannya.

Saat acara usai, kerumunan mulai bubar. Siswa saling berfoto, saling menulis pesan di seragam putih yang mereka kenakan. Joe melihat Wida di kejauhan, dikelilingi teman-teman. Senyum Wida cerah, seperti sinar matahari di awal musim panas.

Joe ingin melangkah, sekadar mengucapkan selamat, atau bahkan menyerahkan satu dari ratusan puisinya. Tapi langkah itu tak pernah benar-benar ia ambil. Bukan hanya karena minder, tapi karena ia tahu—sejak dulu Wida tidak pernah menaruh perasaan yang sama.

Ia memilih mengamati dari jauh, menyimpan semua kata yang ingin ia ucapkan di dalam dadanya.

Saat Wida akhirnya pergi, langkahnya ringan, tak menoleh ke belakang. Joe hanya berdiri memandangi punggung itu, sampai hilang di balik gerbang sekolah.

Malamnya, Joe menulis puisi terakhir untuk Wida:

> “Kita berakhir tanpa pernah dimulai.
Aku mencintaimu,
bukan untuk dimiliki,
tapi untuk kukenang.
Jika esok kau membaca namaku,
semoga kau tahu—
di masa mudamu,
ada seseorang yang diam-diam
selalu mendoakan bahagiamu.”



Puisi itu ia masukkan ke kotak kayu, bergabung dengan semua puisi lain yang tak pernah sampai.
Bagi Joe, cinta bukan soal memiliki. Cinta adalah menjaga, meski dari jarak yang tak pernah mengecil.

Dan begitu, kisah mereka berakhir—tidak dengan pengakuan, tidak dengan kebersamaan, tapi dengan diam yang penuh rasa.


Epilog – Puisi yang Tetap Hidup

2 tahun berlalu sejak kelulusan SMA.
Hidup membawa Joe jauh dari tempat tinggal nya,. Ia kini bekerja atau berniaga atau bakulan di luar Jawa., menjalani hari-hari yang penuh tenggat dan tumpukan dagangan

Namun, di malam yang tenang, ia selalu kembali pada satu kebiasaan lamanya—menulis puisi.
Bukan lagi untuk dikirim ke radio, bukan untuk didengar banyak orang. Hanya untuk dirinya sendiri.

Kotak kayu kecil itu masih tersimpan rapi di lemari. Puluhan puisi yang ia tulis di masa SMA tetap utuh, kertasnya mulai menguning, tapi tinta hitamnya masih jelas terbaca. Di antara semua puisi itu, ada yang terakhir ia tulis di malam kelulusan—puisi yang menutup kisahnya dengan Wida.

Kadang Joe bertanya-tanya, di mana Wida sekarang. Apakah dia sudah menikah? Apakah senyumnya tetap sama? Atau apakah dia pernah, walau sekali saja, menyadari ada seseorang yang pernah mencintainya begitu diam-diam?

Satu malam, sambil menyeruput kopi, Joe menulis di halaman buku puisinya:

> “Bukan waktu yang membuatku lupa,
hanya jarak yang membuatku diam.
Aku tak menyesal pernah mencintaimu,
bahkan jika namaku
tak pernah singgah di hatimu.”



Ia menutup buku itu, memandang langit malam dari jendela kecil kamarnya. Di luar sana, kehidupan terus berjalan.
Tapi di hatinya, Wida akan selalu menjadi gadis berkerudung dengan senyum tenang—yang tak pernah ia miliki, namun selalu ia cintai.

Dan bagi Joe, itu sudah cukup.

Selesai 





Kamis, 07 Agustus 2025

Novel 1

Novel

Bayangan di Awal Kelas Dua

Matahari pagi itu terasa hangat, tapi tidak cukup untuk mencairkan dingin yang sejak lama menetap di hati Joe. Ia berdiri di depan papan pengumuman, matanya bergerak cepat menelusuri deretan nama-nama siswa di kelas dua.

Namanya ada di kelas 2B waktu kls 1 nya di klas 1A — kelas baru, wajah baru, dan mungkin cerita baru. Tapi bagi Joe, “cerita baru” bukanlah hal yang selalu ia sambut dengan senyum. Sejak perpisahan orang tuanya saat ia masih duduk di bangku SD, dunia baginya seperti panggung yang terlalu ramai. Ramai… tapi asing.

Kehidupannya setelah itu penuh cibiran. Anak-anak sebaya dulu sering melemparkan ejekan—kadang terang-terangan, kadang lewat bisik-bisik yang menusuk lebih dalam dari teriakan. Ia belajar untuk menutup diri, terutama pada teman-teman perempuan. Baginya, menjaga jarak lebih aman daripada memberi kesempatan pada orang lain untuk melukai.

Waktu kelas satu SMA, Joe jarang sekali masuk sekolah. Alasannya bukan karena malas, tapi karena sulit menata pikirannya. Ia seperti sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Meski begitu, anehnya, nilai-nilainya masih cukup baik—bahkan masuk peringkat 10 besar. Orang bilang ia punya otak encer, tapi Joe tahu itu hanya hasil dari kebiasaannya membaca diam-diam di rumah, bukan karena semangat belajar yang membara.

Kini, di kelas dua, ia memutuskan untuk mencoba hadir di awal semester. Hari pertama pembagian kelas, aula sekolah dipenuhi suara riuh siswa. Beberapa wajah familiar dari kelas satu menyapanya dengan senyum atau anggukan singkat. Joe membalas seadanya.

Saat ia melangkah masuk ke kelas baru, matanya menangkap sosok yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Seorang gadis duduk di bangku dekat jendela, cahaya matahari pagi memantul lembut di jilbab putih nya. Dia sedang tertawa kecil bersama seorang teman, tapi tawa itu terdengar… lain. Tidak berlebihan, tidak dibuat-buat—hanya tulus.

Joe merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Perasaan itu datang cepat, seperti hembusan angin yang membuat daun gugur tanpa sempat bertanya kenapa. Ia tidak tahu siapa nama gadis itu. Yang ia tahu, matanya seolah tertarik untuk kembali melihat, meski ia cepat-cepat memalingkan wajah, pura-pura sibuk mencari bangku kosong.

Nama gadis itu belum terungkap, tapi entah kenapa, di hati Joe sudah muncul satu pertanyaan yang berulang-ulang berbisik:
"Siapa dia…?"

 Awal Sapa

Hari kedua di kelas baru, udara pagi terasa agak sumpek. Mungkin karena kelas masih penuh dengan suara obrolan, kursi yang bergeser, dan tawa-tawa kecil yang saling bersahutan.

Joe datang seperti biasa—tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Dia melangkah santai sambil menenteng buku dan plastik es teh, pakaian sesuka dia, Teman-teman yang sudah mengenalnya dari kelas satu hanya melirik lalu geleng-geleng.

“Pagi-pagi udah ngesteh Bro? sekolah koyo bar ngarit,” sindir phur, temannya.
Joe nyengir. “Biar otak nggak kaget ketemu matematika, phur.”

Ia duduk di bangku belakang, memerhatikan sekitar. Beberapa wajah ia kenal dari kelas satu, tapi ada juga wajah-wajah baru yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Lalu… matanya berhenti pada satu sosok di dekat jendela. Seorang gadis berhijab putih, duduk rapi dengan buku catatan di atas meja. Wajahnya teduh, geraknya tenang. Dia sedang berbicara dengan teman di sebelahnya, suaranya tidak terdengar jelas tapi senyumnya… sederhana, tapi entah kenapa menenangkan.

Wali kelas masuk, lalu mulai acara perkenalan. Satu per satu siswa diminta maju atau berdiri untuk menyebutkan nama dan hobi.

Saat giliran gadis itu, dia berdiri perlahan.
“Assalamualaikum, nama saya Widayanti. Hobi saya membaca dan menulis bantu orang tua . Saya dari kelas 1B tahun kemarin. Senang bisa kenal teman-teman di sini,” ucapnya lembut.

Jadi memang benar, dia bukan dari kelas satu yang sama dengan Joe. Wajar kalau Joe sama sekali belum pernah melihatnya.

Saat waktu istirahat, sebagian siswa keluar kelas. Joe masih duduk sambil mengunyah sisa permen. Iseng, ia mengetuk pelan kursi Wida dari belakang.

“Eh, Wida ya? dengan gaya sok malu sok kenal” ucapnya joe santai.
Wida menoleh, sedikit tersenyum. “Makasih. Kamu… Joe, kan?”
“Iya. Kok tau?” tanya Joe sambil pura-pura heran.
“Baru aja tadi denger pas perkenalan,” jawab Wida tenang.
“Oh kirain aku udah terkenal duluan,” kata Joe sambil nyengir.

Wida menahan tawa. “Kalau terkenal karena apa dulu?”
“Nah itu dia, kalau karena ranking nggak mungkin. Aku ini cuma murid rajin bolos yang sok pinter,” jawab Joe sambil memainkan bolpoin.

Percakapan itu sederhana, tapi cukup untuk membuka pintu. Joe merasa aneh—biasanya dia malas memulai obrolan dengan cewek, tapi kali ini… dia malah ingin tahu lebih banyak.

Di jam pelajaran berikutnya, Joe beberapa kali melempar komentar kecil yang membuat Wida tersenyum atau menggeleng pelan. Entah kenapa, melihat senyumnya membuat kelas terasa tidak se-membosankan biasanya.

Hari itu, jam istirahat kedua dan sholat dhuhur berjamaah rutinitas sekolah. Udara di masjid sekolah  bercampur bau gorengan dan mie instan, membuat suasana semakin ramai. Selesai solat Joe dan beberapa temannya duduk di sudut kantin, bercanda sambil makan gorengan

“Eh, itu anak baru ya? Yang duduk sama Wida di kelas?” tanya Arif sambil menunjuk ke arah luar kantin.
Joe mengikuti arah telunjuknya. Dua siswi tampak berjalan sambil membawa buku. Salah satunya Wida. Di depan mereka, ada dua cowok yang sengaja menghalangi jalan sambil bercanda berlebihan.

Joe menaruh sendoknya. “Hmm… gaya apaan tuh?” gumamnya.

Wida awalnya tetap tersenyum sopan, tapi saat salah satu cowok mulai berusaha mengambil buku dari tangannya, ekspresinya berubah. Dia melangkah setengah maju, menatap si cowok dengan mata yang kali ini tegas.
“Mas, tolong balikin bukunya. Nggak lucu kalau bercandanya sampai ganggu orang,” ucapnya. Suaranya tetap tenang, tapi jelas dan tegas.

Si cowok sempat terdiam, lalu tertawa kaku. “Santai kali, cuma bercanda.”
“Bercanda itu kalau dua-duanya senang. Kalau salah satunya nggak nyaman, itu namanya ganggu,” jawab Wida pelan tapi mantap.

Akhirnya buku itu dikembalikan, dan mereka pergi. Wida melanjutkan langkahnya seperti tidak terjadi apa-apa.

Joe yang dari tadi memperhatikan, entah kenapa merasa kagum. Tenang, tapi kalau perlu, bisa pasang batas. Itu sesuatu yang jarang ia lihat.

Beberapa menit kemudian, saat Wida kembali ke kelas, Joe memanggil dari belakang.
“Tadi keren banget,” ucapnya sambil menyandarkan badan di kursi.
Wida menoleh. “Apanya?”
“Ya cara kamu ngomong ke dua cowok tadi. Tegas, tapi nggak marah-marah. Kalau aku sih udah keburu njungkel ne.”
Wida tersenyum tipis. “Nggak perlu marah kalau bisa jelasin baik-baik. Kadang orang cuma butuh diingetin.”
Joe tertawa kecil. “Wah, bijak sekali, Bu Ustadzah.”

Sejak kejadian itu, obrolan mereka mulai lebih sering terjadi, dan sering bercanda Tidak hanya di kelas, tapi juga saat istirahat. Joe mulai tahu kalau Wida suka menulis kata kata di buku tulis bergaris, dan Wida mulai tahu kalau Joe sebenarnya punya banyak cerita lucu dari masa SD dan SMP—meski dibalut dengan masa lalu yang nggak mudah.

Hari-hari berikutnya, Joe mulai merasa kalau kehadiran Wida membuat kelasnya… berbeda. Lebih hangat, lebih hidup, tapi juga tetap tenang.
Dan Joe mulai semangat untuk masuk sekolah, 

Sudah sebulan sejak pembagian kelas baru. Joe semakin terbiasa melihat Wida di kursi dekat jendela itu—dengan jilbabnya yang berganti warna putih maupun coklat, tapi senyum yang selalu sama.

Awalnya, Joe menganggap Wida hanya teman baru yang menyenangkan untuk diajak bicara dan melupakan kisah kelam nya. Tapi perlahan, sesuatu berubah. Dia mulai memperhatikan hal-hal kecil: cara Wida memiringkan kepala saat mendengarkan, kebiasaan membenarkan jilbab ketika gugup, atau tatapan fokusnya saat menulis catatan.

Joe tidak pernah bilang ke siapa pun. Bahkan ke zhulis atau phur, sahabatnya yang biasanya tahu semua urusan pribadinya. Ia memilih menyimpannya rapat-rapat, seperti rahasia yang hanya boleh diketahui dirinya sendiri.

Di rumah, setiap malam, Joe punya kebiasaan baru. Ia membuka buku tulis kecil yang dulu jarang terpakai, lalu menulis puisi-puisi singkat. Bukan puisi cinta yang terang-terangan, tapi lebih ke kata-kata kagum yang tersamarkan.

> “Ada yang tak bisa kugambarkan,
Seperti senyum yang tak sengaja kau tinggalkan di pikiranku.
Bukan karena aku ingin mengingatnya,
Tapi karena ia memilih menetap sendiri.”



Kadang, ia menulis sambil tertawa sendiri. Gila, sejak kapan gue jadi kayak penyair cinta patah hati? pikirnya. Tapi entah kenapa, menulis saat ini begitu terasa menyenangkan—seperti caranya untuk dekat dengan Wida tanpa benar-benar mendekat.

Di sekolah, Joe tetap bersikap biasa. Dia tetap suka bercanda, tetap usil melempar komentar dari belakang. Bedanya, setiap kali Wida tersenyum atau menoleh karena ulahnya, Joe merasa seperti dapat hadiah kecil yang cuma dia mengerti nilainya.

Suatu siang, saat pelajaran Bahasa Indonesia, guru meminta semua siswa membuat puisi bebas di kelas. Kebanyakan menulis seadanya, tapi Joe menunduk serius, menulis cepat seperti orang yang sudah lama menyimpan kata.

Ketika dikumpulkan, guru sempat berhenti membaca puisinya. “Joe, ini punyamu. Inspirasi dari mana?”
Joe tersenyum singkat. “Dari jendela, Bu.”
Wida yang duduk dekat jendela tak sadar bahwa “jendela” yang dimaksud Joe… adalah dirinya.

Bagi Joe, menyukai Wida bukan soal ingin memiliki. Bukan pula tentang mengubah diri agar diperhatikan. Ia hanya ingin menikmati rasa itu, menjaga dari jauh, dan membiarkannya tumbuh di antara halaman-halaman puisi yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.


Semakin hari, kebiasaan Joe menulis puisi makin menjadi-jadi. Satu buku kecilnya kini sudah penuh dengan tulisan. Lalu dia membeli buku baru—dan itu pun perlahan terisi puluhan puisi. Semua tentang Wida.

Tentang senyumnya yang sederhana.
Tentang akhlaknya yang selalu membuatnya kagum.
Tentang hijabnya yang membuatnya terlihat anggun di mata Joe.

Namun tidak satu pun dari puisi itu ia tunjukkan langsung kepada Wida.

Sampai suatu malam, Joe punya ide iseng: mengirimkan puisinya ke Radio Asri, stasiun radio lokal yang sering membacakan kiriman pendengar, lengkap dengan salam dan lagu. Ia mengirimnya lewat pesan singkat, menulis dengan hati-hati agar terdengar puitis, tapi tidak menyebut nama.

> “Untuk seseorang yang menjaga pandangannya,
yang senyumnya seperti pagi—hangat, tapi tidak membakar.
Semoga selalu ada cahaya di langkahmu.”

Salam dari: ku



Huruf “inisial W” hanyalah singkatan iseng dari “Si anak lelaki yang kagum pada W…” — inisial yang hanya Joe tahu maksudnya.

Malam itu, suara penyiar radio membacakan puisinya dengan intonasi yang pas. Joe tersenyum sendiri di kamar, membayangkan bagaimana rasanya kalau Wida mendengarnya.

Tapi dunia sekolah kecil. Keesokan harinya, beberapa teman yang juga pendengar Radio Asri mulai heboh di kelas.

“Eh, lu denger nggak tadi malam? Ada puisi keren banget, tapi salamnya ‘buat W’. W-nya siapa ya?”
“Kayaknya sih… Wida,” bisik salah satu teman sambil melirik ke arah bangku dekat jendela.

Joe pura-pura cuek, memainkan pulpen dan tertawa bersama. “Ah, bisa aja. Banyak kali orang berinisial W.”
Tapi tatapan usil teman-temannya mulai mengikuti setiap kali ia dan Wida ngobrol.

Wida sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda tahu. Dia tetap ramah seperti biasa, menyapa Joe saat masuk kelas, membalas candaannya, dan fokus pada pelajaran. Tapi entah kenapa, Joe mulai merasa sedikit was-was—seolah rahasianya perlahan mulai merembes keluar dari buku puisinya, terbang lewat gelombang radio, dan mendarat di telinga orang-orang.

Malam berikutnya, Joe tetap mengirim puisi ke Radio Asri. Kali ini lebih singkat:

> “Kepada mata yang menunduk dengan indah,
jangan biarkan dunia mengubah caramu memandang.”
Kukirimkan untuk W.



Dan lagi-lagi, gosip kecil di sekolah semakin ramai.



Sudah hampir tiga bulan sejak puisi “berinisial W” pertama kali mengudara di Radio Asri. Hampir setiap dua atau tiga malam sekali, pendengar setia bisa mendengar suara penyiar membacakan kata-kata indah itu—selalu diakhiri dengan salam yang sama.

Di sekolah, gosip semakin sulit dibendung. Beberapa teman mulai terang-terangan menggodai.

“Joe… Joe… semalam kok puisinya manis banget? Jangan-jangan buat si W di pojok jendela itu?” kata achmad sambil menyikutnya.
Joe hanya tertawa, meneguk air mineral. “Bisa aja lu. Gue mah bukan tipe romantis.”
Tapi tawa itu terdengar terlalu ringan untuk dianggap sungguhan.

Siang itu, di kantin, Wida sedang duduk bersama Arin, sahabatnya dekat dan satu meja. Arin menyuap nasi soto,sambil membuka percakapan, “Wid, lu pernah denger Radio Asri nggak?”
“Kadang. Kenapa?” tanya Wida.
“Lagi rame, ada yang kirim puisi buat cewek berinisial W. Nih, semalam puisinya gini—” arin langsung menirukan beberapa baris yang ia hafal.

Wida terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis. “Bisa aja orangnya. W kan banyak.”
“Iya sih,” jawab arin, “tapi kalau liat cara penulisannya, kayaknya anak sini deh.”
“Ah, cuma feeling doang,” Wida mencoba menutup pembicaraan, tapi dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran yang mulai tumbuh.

Malamnya, Wida sengaja memutar Radio Asri sambil mengerjakan PR. Tepat pukul sembilan lewat sepuluh menit, suara penyiar membacakan di kirimkan buat W” lagi:

> “Aku tidak pernah tahu,
apakah aku mengagumimu atau belajar darimu.
Yang pasti, setiap kali melihatmu,
aku merasa sedang berada di tempat yang benar.”
Salam dari ku untuk W



Wida terdiam, matanya terpaku pada buku catatan. Kata-kata itu sederhana, tapi ada kehangatan yang aneh—seolah si pengirim benar-benar mengenalnya.

Besok paginya di kelas, Wida tanpa sadar memperhatikan Joe sedikit lebih lama dari biasanya. Joe tetap santai, bercanda dengan Zhulis, phur, dan achamad, tapi ada satu momen ketika pandangan mereka bertemu. Joe cepat-cepat memalingkan wajah.

Dalam hati, Wida bertanya-tanya, Apa mungkin… dia?

Sejak mendengar langsung puisi “untuk W” di radio, Wida mulai punya kebiasaan baru: memutar Radio Asri setiap malam. Awalnya hanya karena penasaran, tapi lama-lama ia mulai menunggu, seperti ingin membuktikan bahwa kiriman itu bukan kebetulan.

Dan benar saja—setiap dua atau tiga malam sekali, puisi itu muncul lagi. Tidak pernah menyebut nama, tapi selalu ada nuansa yang… akrab.

Di sekolah, Wida mencoba mengamati satu per satu teman laki-laki di kelas. Dari caranya bicara, selera humornya, sampai gaya menulis di buku catatan.

Sampai suatu hari, guru Bahasa Indonesia membagikan tugas membuat puisi di kelas. Saat semua siswa menulis seadanya, Wida memperhatikan Joe di bangku belakang yang menunduk serius, menulis cepat seolah kata-kata itu sudah lama menunggu keluar.

Penasaran, Wida berpura-pura menunggu di depan kelas setelah jam pelajaran selesai. Saat Joe keluar, ia menyapa santai, “Tugas puisinya udah selesai?”
“Udah, dong. Ntar dikumpulin minggu depan,” jawab Joe sambil nyengir.
“Boleh baca?” tanya Wida, setengah bercanda, setengah menguji.
“Waduh, nggak bisa. Nanti ketahuan kualitas puisiku yang pas-pasan,” elak Joe sambil mengangkat tangan seperti menyerah.

Wida tersenyum kecil, tapi di kepalanya alarm kecil berbunyi. Hmm… kenapa dia menghindar, ya?

Beberapa hari kemudian, Wida sengaja memancing pembicaraan saat jam istirahat.
“Kemarin aku denger radio lagi, ada puisi dari untuk W. Kayaknya dia orang yang perhatian banget, ya?”
Joe meneguk air mineral, menahan senyum. “Mungkin aja. Atau mungkin dia cuma iseng.”
“Iseng tapi konsisten?” tanya Wida sambil melirik.
“Ya… mungkin orangnya suka main teka-teki,” jawab Joe santai, lalu mengalihkan topik ke bahasan tugas sekolah.

Tapi begitu Wida menoleh ke arah lain, Joe menarik napas pelan. Dia tahu Wida mulai mendekati kebenaran.

Malam itu, Joe tetap mengirim puisi ke radio, tapi kali ini ia mencoba membuatnya sedikit lebih samar:

> “Aku berdiri di antara rahasia,
dan doa yang tak pernah kuucap di depanmu.
Biarlah angin yang membawanya,
entah sampai atau tidak.”
Salam untuk:  W.



Di kamarnya, Wida mendengar bait itu sambil memegang buku catatannya. Dia tersenyum tipis.
“Kalau ini bukan Joe… aku nggak tahu lagi siapa,” gumamnya pelan.

Beberapa minggu terakhir, tatapan Wida pada Joe sudah berbeda. Bukan lagi sekadar teman sekelas yang mengajak bercanda. Ada rasa ingin tahu… tapi juga ada jarak yang ia jaga.

Di sisi lain, gosip tentang Joe dan Wida semakin ramai. Hampir setiap kali Joe mengirim puisi ke Radio Asri, teman-teman yang mendengarnya langsung mengaitkannya dengan Wida. Bahkan beberapa berani menggodai mereka di depan kelas.

Suatu siang, saat jam istirahat, Wida sedang duduk di taman sekolah bersama Arin—teman dekatnya di kelas dua ini. Arin menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wid, aku mau nanya… jujur ya,” kata Arin pelan.
“Apa?”
“Kalau… misalnya Joe suka sama kamu, kamu mau?”

Wida terdiam. Pandangannya jatuh ke tanah, jarinya memainkan ujung jilbab. “Aku… belum bisa nerima,” jawabnya akhirnya.
“Kenapa? Dia orangnya baik, loh,meski gayanya suka hatinya ” desak Arin.
“Aku tahu. Tapi… aku belum siap. Lagian, perasaan itu kan nggak bisa dipaksain, tapi entah lah”

Arin mengangguk pelan, lalu mengganti topik. Tapi di kepalanya, ia menyimpan informasi itu. Dan entah kenapa, sore harinya, informasi itu terlanjur sampai ke telinga orang lain.

Di kantin, Arin sedang ngobrol dengan Zhulis—teman sekelas yang juga dekat dengan Joe. Percakapan ringan itu tanpa sadar berubah serius.
“Loh, jadi Wida udah tahu kalau Joe suka dia?” tanya Zhulis.
“Kayaknya udah, sih. Dia tadi jawab belum bisa nerima, Mukin sudah ada yang lain” kata Arin tanpa sadar bahwa ucapannya akan diteruskan.

Seperti dugaan, sore itu juga, Zhulis bertemu tangga habis pramuka.
“Bro, gue cuma mau bilang… kayaknya Wida belum bisa nerima kalau lu suka dia,” ucap Zhulis pelan.

Joe yang sedang memegang buku sambil di gulung, Tangannya berhenti bergerak, tapi wajahnya berusaha tetap santai.
“Oh gitu…” katanya singkat, lalu tersenyum tipis. “Ya nggak apa-apa, bro. Namanya juga rasa, nggak harus dibales.”

Zhulis menepuk bahunya. “Lu nggak apa-apa?”
“Gue? Santai aja. Gue kan nggak pernah berharap lebih. Nulis puisi aja udah cukup buat gue,” jawab Joe sambil memasang helm.

Tapi saat melangkah keluar gerbang sekolah, dadanya terasa sesak. Malam itu, dia membuka buku puisinya, menulis tanpa banyak berpikir:

> “Tak semua rasa perlu berlabuh,
sebagian cukup mengapung di tengah laut.
Dilihat dari jauh,
tanpa pernah dimiliki.”


Menjauh untuk Tetap Dekat

Sejak kabar itu sampai ke telinganya, Joe mulai mengubah cara bersikap. Dia tidak lagi sering memanggil Wida dari belakang atau menggodanya dengan komentar santai. Bukan karena sakit hati… tapi karena ia takut Wida merasa terganggu dan akhirnya benar-benar menjauh.

Di kelas, Joe tetap bersikap biasa, bercanda dengan teman-temannya, tapi ada garis tak terlihat yang ia tarik di antara dirinya dan Wida. Kalau dulu ia sengaja mencari alasan untuk ngobrol, kini ia hanya bicara saat perlu. Kalau dulu ia sering melirik diam-diam, kini ia melakukannya lebih hati-hati, cukup sekilas agar tidak ketahuan.

Bagi Joe, mencintai Wida tidak berarti harus selalu berada di sisinya. Kadang, justru berarti menjaga jarak, supaya dia bisa tetap melihat Wida tanpa kehilangan kesempatan untuk tetap menjadi teman.

Malam-malamnya masih sama: ditemani buku tulis dan lampu meja yang temaram. Tapi puisi-puisi yang ia tulis kini semakin penuh rasa—lebih jujur, lebih berat.

> “Aku ingin dekat,
tapi jarak adalah satu-satunya cara
agar kau tak berpaling.”



> “Cintaku seperti hujan di malam hari,
jatuh pelan tanpa suara,
hanya meninggalkan basah di hatiku sendiri.”



Setiap bait menjadi tempat Joe menyimpan perasaan yang tidak berani ia ucapkan. Semakin hari, semakin banyak halaman yang terisi, seakan buku itu satu-satunya saksi yang benar-benar mengerti.

Kadang, saat mendengar tawa Wida dari jauh, Joe tersenyum sendiri. Di dalam hatinya, ia berkata, Selama dia bahagia, aku nggak apa-apa.

Namun, meski bibirnya berkata begitu, pena di tangannya terus menulis—seperti ada bagian dari dirinya yang tidak mau menyerah, walau cintanya hanya bisa hidup dalam diam.

Kembali Satu Kelas, Tapi Jauh

Tahun ajaran baru dimulai. Aula sekolah ramai dengan siswa kelas 3 yang saling mencari nama di daftar pembagian kelas. Joe berdiri di depan papan pengumuman, matanya bergerak pelan. 3 IPA —dan di sana, di baris yang sama, ada nama Widayanti

Sejenak dadanya berdebar. Setelah satu tahun hanya melihat dari kejauhan, kini mereka kembali satu kelas. Tapi anehnya, yang ia rasakan bukan hanya senang… ada juga rasa takut. Takut kalau kedekatan itu justru membuat Wida merasa terbebani.

Hari pertama masuk, Joe melihat Wida duduk di barisan tengah. Senyumnya tetap sama, hangat seperti dulu, menyapa semua orang dengan ramah. Joe membalas dengan anggukan kecil, lalu memilih duduk di bangku belakang—cukup jauh, tapi masih bisa melihatnya.

Sejak itu, Joe memutuskan: ia akan menjaga jarak. Bukan karena benci, bukan karena ingin menghindar, tapi karena ia ingin Wida merasa nyaman. Ia ingin hadir… tapi tidak terlalu dekat.

Hari-hari berjalan. Kadang Wida menoleh dan menyapa, kadang mereka bertukar kata saat membahas pelajaran, tapi Joe selalu menjaga batas. Tidak ada lagi candaan iseng seperti dulu, tidak ada lagi panggilan dari belakang kelas.

Namun, rasa rindu justru makin menggebu. Melihat Wida tertawa bersama teman-temannya, Joe ingin ikut tertawa. Melihat Wida menulis di buku, Joe ingin tahu apa yang ia tulis. Tapi semua itu ia simpan sendiri.

Malam-malamnya masih setia ditemani buku puisi. Puluhan halaman baru terisi, setiap baitnya seperti menampung semua yang ia pendam.

> “Kita satu kelas lagi,
tapi rasanya seperti duduk di dua dunia berbeda.
Aku memilih diam,
agar kau tak merasa aku terlalu dekat.”



> “Ada rindu yang tak berani menyentuh,
hanya berkeliling di tepi,
memandangi dari jauh
takut membuatmu menjauh.”



Kadang, saat pelajaran membosankan, Joe menulis puisi di pojok buku catatan fisika atau kimia. Hanya satu atau dua baris, tapi cukup untuk menenangkan dadanya.

Bagi Joe, duduk di kelas yang sama dengan Wida adalah kebahagiaan yang ia jaga dalam diam. Ia tahu, tahun terakhir ini mungkin jadi yang terakhir mereka bersama. Dan untuk itu, ia lebih memilih menjadi bayangan yang tenang di belakang—daripada cahaya yang terlalu menyilaukan di depan mata Wida.
 
Bersambung ( Kalau g lupa)




music

Mau dengerin music Tampa download 
Klik sini aja.. gratis 10000%

https://drive.google.com/drive/folders/1tIT_HZANo-o91kTpBfIitrlh-_nvu3mp




Jika kesulitan masuk, tekan link d atas
Apan muncul pilihan open, klik aja open

1993

Tuhan, Maafkan Aku

Tuhan…
Maafkan aku
bila ada bisik di hatiku
yang meragukan kasih-Mu,
bila mataku terlalu lelah
menatap jalan yang terasa berat
hingga lupa bahwa setiap langkah
ada rahmat-Mu yang mengiringi.

Maafkan aku, Tuhan…
bila pernah aku merasa
dunia tak adil padaku
padahal Kau tahu
apa yang tak kupahami,
Kau simpan jawabnya
di waktu yang paling tepat.

Kadang aku bertanya,
“Kenapa aku, Tuhan?”
lupa bahwa setiap luka
adalah undangan untuk lebih dekat
pada-Mu yang tak pernah meninggalkan.

Ajari aku…
menukar keluh menjadi syukur,
air mata menjadi doa,
dan kecewa menjadi jalan pulang
ke pelukan-Mu.

Tuhan…
jika dunia terasa sempit,
luaskanlah hatiku dengan iman,
dan jika aku merasa sendiri,
ingatkanlah aku
bahwa Kau
selalu di sini.

"""++-;!;:--+(+-----;+++(!!!!@))


"Jejak Luka, Jejak Kuat"

Tahun sembilan puluh tiga,
dunia kecilku pecah tanpa peringatan.
Ayah dan ibu,
dua cahaya yang dulu menuntunku,
memilih jalan yang tak lagi bersisian.

Aku masih bocah—
belum mengerti arti kata “berpisah”,
hanya tahu bahwa rumah
tak lagi berisi tawa yang lengkap.

Sejak itu,
hari-hari penuh bisik di belakang punggungku,
mata orang-orang yang seolah menimbang nasibku,
dan lidah yang tak segan melukai.
Anak-anak yang kusebut teman,
kadang menjelma badai kecil
yang mencibir, menertawakan,
menjadikan hatiku medan perang sunyi.

Aku belajar menunduk,
bukan karena kalah,
tapi karena ingin menyembunyikan mata yang basah.
Aku belajar diam,
karena setiap kata bisa jadi peluru.
Dan di malam-malam yang panjang,
aku bercakap dengan diriku sendiri,
menggenggam erat harapan tipis
bahwa suatu hari, luka ini akan sembuh.

Tapi waktu mengajariku sesuatu:
bahwa luka tidak selalu hilang,
kadang ia menetap—
namun dari sanalah akar kekuatan tumbuh.

Aku mulai berdiri lebih tegak,
meski hati masih menyimpan retak.
Aku mulai melangkah,
meski jalanan penuh kerikil tajam.
Aku tahu, masa kecilku bukan dongeng,
tapi dari kepedihan itulah
aku belajar menghargai setiap cahaya kecil
yang mampir di hidupku.

Kini aku menatap ke belakang,
bukan lagi dengan getir,
tapi dengan rasa bangga:
Aku selamat.
Aku bertahan.
Dan dari semua cibiran, ejekan, dan luka itu—
aku menjelma sesuatu yang mereka tak sangka:
kuat.



tuhan maafkan aku

Tuhan, Maafkan Aku

Tuhan…
Maafkan aku
bila ada bisik di hatiku
yang meragukan kasih-Mu,
bila mataku terlalu lelah
menatap jalan yang terasa berat
hingga lupa bahwa setiap langkah
ada rahmat-Mu yang mengiringi.

Maafkan aku, Tuhan…
bila pernah aku merasa
dunia tak adil padaku
padahal Kau tahu
apa yang tak kupahami,
Kau simpan jawabnya
di waktu yang paling tepat.

Kadang aku bertanya,
“Kenapa aku, Tuhan?”
lupa bahwa setiap luka
adalah undangan untuk lebih dekat
pada-Mu yang tak pernah meninggalkan.

Ajari aku…
menukar keluh menjadi syukur,
air mata menjadi doa,
dan kecewa menjadi jalan pulang
ke pelukan-Mu.

Tuhan…
jika dunia terasa sempit,
luaskanlah hatiku dengan iman,
dan jika aku merasa sendiri,
ingatkanlah aku
bahwa Kau
selalu di sini.

Tuhan…
Maafkan aku,
jika pernah merasa dunia tak adil padaku.
Aku lupa,
Kaulah pemilik segala takdir
dan setiap luka
pun Kau pilihkan
demi menguatkanku.

Tuhan…
Maafkan aku jika sempat mengeluh,
Saat jalan hidup terasa rapuh.
Aku lupa, di balik sedih dan pilu,
Ada rencana indah yang Kau sembunyikan dulu.

::::;;:;::;:;;;;;;;;;

Rabu, 06 Agustus 2025

"Untukmu yang Tak Pernah Tahu"

Di antara jutaan wajah yang lalu-lalang,
ada satu yang diam-diam kurindukan—kau.
Bukan karena kau yang paling indah di mata,
tapi karena caramu hadir… membuat waktu terasa lebih pelan.

Aku melihatmu,
selalu dari jauh,
seperti bintang yang kutatap saban malam,
yang tak bisa kuraih… namun tak pernah lelah kupandang.

Kau berjalan biasa saja,
tapi di mataku, langkahmu puisi yang belum selesai ditulis semesta.
Kau tertawa lepas,
dan di sanalah aku tenggelam dalam gelombang yang tak bisa kucegah.

Kau tak tahu,
bahwa tiap detik aku menahan kata.
Ingin rasanya kusematkan namamu dalam bait-bait yang kutulis,
tapi cukup kertas yang tahu…
dan Tuhan, tempat segala rahasia kusembunyikan.

Aku mencintaimu,
tanpa pernah berharap balas.
Karena bagiku, mencintaimu tak harus memiliki,
cukup menjadi penjaga senyummu dalam doa yang tak bersuara.

Setiap malam adalah perjuangan,
antara ingin melupakan atau tetap menyimpanmu dalam kenangan.
Tapi hatiku selalu memilih diam.
Karena diam adalah satu-satunya cara mencintaimu…
tanpa menyakitimu.

Tak perlu kau tahu betapa dalam rinduku,
karena jika rindu ini sampai padamu,
aku takut ia menjadi beban di pundakmu yang rapuh.

Biarlah aku jadi bayang di belakang langkahmu,
tak terlihat—namun selalu ada.
Menjagamu dari kejauhan,
mengagumimu tanpa alasan yang perlu dimengerti dunia.

Dan jika suatu hari kau membaca puisi ini,
tanpa tahu bahwa kau yang kutuju,
maka biarlah itu menjadi takdir kecil antara aku dan Tuhan,
tentang cinta yang hanya bisa tumbuh…
dalam diam.

Dalam diam kutitipkan namamu pada senja,
sebab hanya pada langit, aku bebas bercerita.
Tentang parasmu yang tak pernah lelah singgah,
dalam ruang sunyi yang kusebut cinta.

Kau mungkin tak tahu,
bahwa setiap senyummu adalah bait puisi yang tak pernah selesai.
Langkahmu sederhana,
tapi bagiku—itu irama yang menenangkan badai.

Aku mencintaimu seperti bayang mencintai cahaya,
tak pernah bisa mendekat,
tapi tak pernah bisa berpisah.

Setiap pagi adalah harapan,
setiap malam adalah rindu yang kutuliskan dalam doa tanpa nama.
Dan kau,
tetap menjadi rahasia yang kujaga sepenuh jiwa.

Tak perlu kau tahu,
karena bukan untuk memilikimu aku mencintai.
Cukuplah hatiku mengagumi,
dari jauh, dari balik sunyi.

Kau berjalan lirih dalam anganku,
tak tahu kau, dirimu kutunggu.
Bak rembulan teduh di langit malam,
kaulah cahaya dalam hatiku yang kelam.

Tiada kata terucap nyata,
hanya doa yang diam kubawa.
Kukagumi kau tanpa suara,
rinduku pun tak bersuara.

Jika suatu hari kau tahu rasa ini,
biarlah ia tetap jadi puisi.
Karena mencintaimu dalam sembunyi,
adalah bahagiaku yang sunyi.
+++++++++++
++++++++(+(++





Wanita itu datang tanpa suara,
Dalam balutan jilbab sederhana,
Seperti pagi yang malu-malu menyapa,
Membawa teduh di balik cahaya.
Langkahnya tak pernah tergesa,
Namun waktu serasa tunduk padanya.

Ialah lentera di antara gelap dunia,
Iman terpahat dalam matanya,
Setiap tutur kata adalah dzikir yang lembut,
Membasuh luka-luka dunia yang kalut.
Senyumnya bukan sekadar manis,
Tapi doa yang diam-diam menyejukkan hati siapa pun yang melihatnya.

Di tengah hiruk pikuk dunia yang fana,
Ia tetap teguh menjaga diri dan jiwanya,
Bukan karena ingin dipuji manusia,
Tapi karena cinta kepada Sang Pencipta.
Ia tahu, kecantikan sejati tak terletak pada rupa,
Tapi pada akhlak dan iman yang tumbuh dalam dada.

Aku memandangnya,
Bukan karena kagum semata,
Tapi karena padanya kulihat surga yang nyata,
Ia bukan sekadar wanita,
Tapi penyejuk bagi mata,
Dan penuntun bagi jiwa yang mencari makna.

Ya Rabb, jika cinta ini fitrah,
Izinkan aku mencintainya karena-Mu semata.
Bukan untuk memilikinya dalam angan semu,
Tapi untuk berjalan bersamanya menuju ridha-Mu.
Jika ia memang tercipta dari tulang rusuk yang Kau tetapkan,
Maka satukanlah kami dalam kebaikan.

Alangkah indahnya bila ia menjadi makmum dalam doaku,
Mengamini harapanku dalam sujud yang syahdu.
Menjadi rumah dalam lelahku,
Dan bahu dalam tangisku.
Ia bukan hanya kekasih hati,
Tapi sahabat sejati menuju akhir nanti.

Namanya kusebut dalam senyap,
Dalam malam-malam panjang yang penuh harap.
Jika ia memang takdir yang Kau simpan,
Kuatkan aku untuk menjadi lelaki yang pantas Tuhan.
Sebab mencintainya bukan sekadar keinginan,
Tapi ibadah yang ingin kutunaikan dalam keikhlasan.

Tiada harta yang bisa kugenggam,
Selain janji pada-Mu untuk menjaga cinta ini dalam diam.
Tiada puisi yang cukup menggambarkan betapa lembut jiwanya,
Namun Engkau tahu,
Aku mencintainya karena akhlaknya,
Karena dia dekat dengan-Mu.

Ia, Widayanti,
Nama yang kupahat dalam doa setiap malam,
Sebagai cinta yang ingin kujaga,
Dalam taat, dalam iman,
Hingga surga mempersatukan.




Selasa, 05 Agustus 2025

vz




Menjauh Tanpa Pergi

Aku semakin menjauh
saat banyak mata mulai tahu
bahwa hatiku diam-diam tumbuh
untukmu, yang tak pernah menolehku.

Bukan karena rasa ini pudar,
bukan karena lelah berharap,
tapi karena aku tahu
kamu tak punya ruang untukku
di sela harimu yang terang.

Aku menjauh bukan untuk pergi,
tapi agar aku bisa tetap mencintaimu
dalam diam yang tak mengganggu,
dalam jarak yang tak menyakitimu.

Karena mencintaimu,
adalah tentang menjaga,
meski hanya dari kejauhan
tanpa perlu kau merasa terbebani.

Aku menjauh,
saat mereka mulai tahu
aku menyukaimu.

Bukan takut,
tapi sadar —
kau tak menyimpan rasa yang sama.

Aku tak ingin jadi luka,
cukup jadi bayang
yang diam-diam menjagamu
dari jarak
yang tak pernah menyakitimu.



diam




Untukmu, Dalam Diam"

Kau tak perlu tahu siapa yang menulis ini.
Dan aku takkan memaksamu menebak.
Tapi izinkan aku bercerita,
tentang rasa yang tumbuh tanpa pernah bersuara.

Aku mengagumimu.
Bukan dalam teriakan,
bukan dalam tatapan tajam yang menuntut balas,
tapi dalam diam,
dalam sunyi yang hanya bisa kutuliskan.

Ada bahagia saat melihatmu dari jauh,
sederhana, tapi nyata.
Seperti pagi yang selalu kembali,
meski tak pernah kumiliki malamnya.

Tapi, jujur, aku juga merindukanmu.
Meski tak pernah benar-benar bersamamu.
Aneh, ya? Merindukan seseorang
yang mungkin tak pernah menyadari keberadaanku.

Sedih? Tentu.
Kadang aku bertanya,
kenapa rasa ini datang tanpa permisi,
lalu tinggal, tanpa pernah bisa kuusir.

Namun, aku tak menyesal.
Karena lewat rasa ini,
aku belajar mencintai tanpa harus memiliki.
Dan lewat puisi ini,
aku bisa jujur — meski tak pernah kau dengar.

Jadi, jika suatu hari
kau membaca bait yang terasa dekat di hatimu,
dan bertanya dalam hati,
"Apakah ini tentangku?"

Tersenyumlah.
Karena jawabannya:
ya.

+++++++++++++++++++++


Sebuah Surat yang Tak Pernah Kukirim"

(Ditulis dalam diam, untukmu yang tak tahu)


Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh 
Kepada kamu yang di seberang Bengawan.
yang mungkin tak pernah tahu namaku,
tapi selalu berhasil membuat dadaku hangat
hanya dengan satu senyuman kecilmu.

Aku menulis ini, bukan untuk dibaca.
Aku menulis ini, karena lisanku terlalu gugup,
terlalu takut merusak apa yang indah
meski hanya dari kejauhan.

Tahukah kamu?
Ada bahagia setiap kali aku melihatmu,
bahagia yang datang tanpa alasan,
seperti matahari yang terbit tanpa diminta.

Tapi juga ada rindu,
rindu yang tumbuh bahkan tanpa pernah dekat.
Aneh, ya?
Bagaimana aku bisa merindukan
tatapan yang tak pernah ditujukan padaku.

Dan tentu saja,
ada sedih.
Sedih karena aku hanya berani menulismu,
tak pernah benar-benar memilikimu
atau sekadar menyapamu.

Tapi jangan salah.
Aku tidak menyesal.
Karena mencintaimu dalam diam
adalah caraku mencintai dengan tulus.

Lewat surat ini, lewat bait-bait ini,
aku hadir — meski tak terlihat,
aku bicara — meski tak terdengar.

Jadi, jika suatu hari kau menemukan surat tanpa nama,
dengan kata-kata yang terasa terlalu dekat,
anggap saja itu hadiah kecil
dari seseorang
yang diam-diam
selalu menjagamu dalam doanya.

Salam hangat,
dari aku,
yang mengagumimu
lewat puisi dan diam


zzb





Tanpa Suara,

Tak perlu aku ungkapkan dengan lisanku,
kalau aku mengagumimu —
cukup lewat bait-bait sunyi ini,
yang lahir dari hati, tanpa perlu diminta.

Aku pandangmu dari kejauhan,
seperti langit menatap laut,
tak bersentuhan, namun saling tahu,
bahwa ada rasa yang tak butuh pengakuan.

Kau takkan pernah mendengar bisikku,
tapi semoga kau membaca rasa ini
di setiap jeda kata,
di setiap diam yang menyimpan makna.

Aku menulismu dalam diamku,
dengan tinta kekaguman yang tak lekang,
sebab kadang perasaan paling tulus,
hanya ingin hadir — bukan dimiliki.
Karena terlalu liar fantasi untuk memiliki,
Kunikmati pertemuan dan perjalan ini.

Kau terlukis Tanpa Suara"
Tak perlu aku ungkapkan dengan lisanku,
kalau aku mengagumimu,
cukup lewat bait  ini
yang ku rajut dari helai-helai rasa.

Kau adalah hujan pertama setelah kemarau,
mendinginkan, menyentuh, tapi tak membasahi terlalu dalam.
Aku menatapmu seperti senja —
tak pernah lama, tapi selalu ditunggu.

Rasaku tak ingin gaduh,
hanya ingin menjadi lagu latar
yang menemani langkahmu
meski kau tak sadar aku ada

"Tak Terucap,
Tak perlu aku ungkapkan dengan lisanku,
kalau aku mengagumimu.
Bukan karena aku takut,
tapi karena aku tahu — ini bukan untuk dimiliki.
Karena aku takut kehilangan bila di ucapkan

Aku menyimpanmu seperti syair lama,
yang dibaca diam-diam saat rindu datang.
Kau tak perlu tahu siapa aku
seperti angin tak perlu tahu siapa yang dihembus.

Aku mengagumimu bukan karena ingin,
tapi karena kau layak untuk dikagumi,
meski bukan olehku —
meski hanya dari jauh,
meski hanya sebatas diam

Tanpa Suara
Tak perlu aku bilang,
aku mengagumimu.

Cukup baris kata ini,
cukup satu pandang
yang selalu aku curi
saat kau tak sadar.

Tak usah tanya kenapa,
karena kadang rasa
cukup ada —
tanpa harus punya.





"Kulukiskan dalam Bait"

Meski ku bukan pujangga
Bukan seorang sastra
Aku coba lukiskan dirimu 
dalam bait-bait tulisanku,
Dengan tinta rindu dan kertas waktu.
Setiap kata adalah garis wajahmu,
Setiap jeda adalah tatap matamu.

Dalam larik sunyi kutemukan senyummu,
Mengalir lembut seperti senandung senja.
Tak perlu kanvas, tak perlu warna,
Sebab puisiku cukup menampung pesonamu yang nyata.

Kau hadir sebagai metafora paling indah,
Dalam tiap bait yang enggan aku akhiri.
Bahkan diam pun kutulis tentangmu,
Agar kau abadi, meski hanya dalam tulisan tak bermakna ini.

Aku lukiskan dirimu dalam bait-bait tulisanku
Sebab matamu terlalu indah untuk hanya dikenang.
Setiap senyum yang pernah kautitip di pagi,
Menjadi sajak yang tak pernah habis kuhafal.

Kau adalah alasan huruf-hurufku menari,
Adalah nada dari sunyi yang jadi harmoni.
Dalam tiap tulisan ini, aku mengabadikanmu diam-diam,
Agar cinta ini tak lenyap ditelan malam.


Aku lukiskan dirimu dalam bait-bait tulisanku
Karena hanya pena yang tak pernah meninggalkanku.
Ku tak bisa terlalu dekat denganmu, namun namamu tetap tinggal di dekatku.
Dalam tiap sajak yang kutulis tanpa suara.

Kau tak tahu, setiap huruf ini adalah air mata,dari gejolak rindu dan mengagumi
Yang mengering menjadi rima dan jeda.
Meski kau tak akan pernah membaca,
Aku terus menulis, agar rasa ini tak sia-sia

Aku lukiskan dirimu dalam bait-bait tulisanku
Karena manusia tak bisa benar-benar mengerti sesamanya,
Tapi dalam huruf hurufku, aku bisa mendekap bayangmu
Lebih dekat dari tubuh, lebih jujur dari kata-kata.

Kau bukan hanya inspirasi,
Kau adalah pertanyaan yang tak pernah selesai kutulis.
Di antara metafora dan irama,
Dirimu hidup sebagai makna yang tak mudah diurai.
Terimakasih tuhan
Terimakasih yang di sana








Cahaya Fajar”

Di bawah mentari yang mulai menyapa,
Ia berjalan dengan langkah bersahaja.
Hijabnya melambai pelan tertiup angin,
Menutup anggun, menjaga yang paling berharga.

Bukan sekadar kain di atas kepala,
Tapi janji pada Tuhan yang ia jaga.
Dalam diam, ia serupa doa yang hidup,
Lembut tutur, namun teguh sikap.

Tatap matanya bening, penuh makna,
Seolah membawa damai bagi siapa yang memandang.
Ia bukan sekadar rupa,
Namun akhlak yang memancar terang.

Bukan dunia yang ia kejar semata,
Tapi ridha Ilahi yang jadi tujuannya.
Gadis berhijab, bagaikan cahaya fajar,
Sederhana… namun menyejukkan saba

,-------------++++(---------+--+---------


“Pesona di Balik Hijab”

Ada yang indah tak perlu disingkap,
Cukup dilihat dengan mata hati yang menangkap.
Bukan wajah yang ia pamerkan,
Tapi ketulusan yang ia tanamkan.

Hijabnya bukan batas, tapi jembatan,
Antara cinta dan kehormatan.
Kau takkan temukan pesona semacam ini,
Pada kecantikan yang hanya sebatas kulit dan diri.

Ia lembut tapi tak mudah digoda,
Kuat namun tetap setia menjaga.
Dan aku jatuh… bukan pada rupa,
Tapi pada cara ia mencinta Tuhan lebih dulu daripada siapa-siapa.
Ia bukan hanya perempuan biasa,
Tapi penjaga kehormatan dalam balutan surga.
Hijab di kepalanya bukan beban,
Melainkan bukti iman yang tak bisa dibantah zaman.

Langkahnya ringan namun berarti,
Menapaki dunia tanpa henti mencari ridha Ilahi.
Bicaranya sopan, wajahnya teduh,
Seperti ayat-ayat yang diturunkan penuh berkah dan sejuk.

Ia tahu dunia fana dan singkat,
Maka ia pilih jalan yang lebih selamat.
Hijabnya adalah mahkota taat,
Yang membuatnya terhormat… dan selamat.
Jangan kira hijab itu lemah,
Ia adalah tanda keberanian yang tak mudah patah.
Saat dunia bicara soal bebas,
Ia memilih tunduk, dan itu lebih tegas.

Dikatakan kolot, ia tetap berdiri,
Diolok, diremehkan—ia tak lari.
Sebab ia tahu, hijab bukan hanya kain,
Tapi perlawanan terhadap arus dunia yang makin memprihatinkan.

Ia bukan tunduk karena takut,
Tapi karena cinta, ia kuat dan sanggup.
Gadis berhijab—pejuang sunyi dalam damai,
Yang menang… tanpa harus melawan dengan amarah yang ramai.


---