Minggu, 27 Juli 2025

cerpen

Judul:“Langit di Meja Paling Belakang”
By: jspengemis

 Musim Hujan dan Senyuman Itu

Joe duduk di bangku paling belakang kelas 2B. Hujan mengetuk jendela, dan udara di ruang kelas lembap serta berbau tanah basah. Di hadapannya, seorang gadis bernama Wida tengah tertawa bersama teman-temannya.

Senyuman Wida, bagi Joe, bukan hanya indah—tapi seperti musim semi yang datang di tengah musim hujan. Hangat, tapi tak pernah bisa disentuh.

Joe menarik napas pelan, lalu menunduk, menatap kertas yang ia gambar. Di sana ada sketsa bunga kecil, dengan inisial W di ujung kelopaknya.

“Joe,” bisik amad, sahabatnya yang duduk di sebelah. “Lo kapan mau bilang?”

“Bilang apa?” tanya Joe tanpa menoleh.

Amad mendecak. “Jangan pura-pura. Lo suka Wida, kan?”

Joe diam. Matanya menatap jauh ke arah bangku depan, tempat Wida duduk. “Aku cuma… takut semua berubah kalau aku bilang.”


---

Surat yang Tak Pernah Sampai

Beberapa minggu kemudian, Joe menulis surat. Isinya bukan puisi. Bukan rayuan. Hanya kejujuran sederhana dari hati yang lama diam.

> “Wida,
Aku nggak berharap kamu membalas perasaan ini. Aku cuma ingin kamu tahu, bahwa setiap hariku jadi lebih terang karena melihat kamu tersenyum.
Terima kasih… karena udah jadi bagian dari hidupku, walau cuma dari jauh.”



Surat itu ia lipat rapi, diselipkan di dalam buku pelajaran yang akan ia kembalikan ke perpustakaan—rencananya, nanti sore, ia akan memberikan itu langsung. Tapi takdir punya rencana lain.

Di ruang kelas yang hampir kosong, Joe tak sengaja mendengar suara dari belakang rak buku. Suara yang amat dikenalnya.
...

Wida.

“…serius, Wid? Kamu tahu Joe suka kamu?” tanya Ani.

Wida tertawa kecil. “Kayaknya sih iya. Tapi… aku nggak bisa, An... Aku nggak pernah lihat dia lebih dari sekadar teman satu kelas. Lagi pula… dia semrawut, nggak nyambung sama aku.”

Joe membeku.

Tangannya yang menggenggam surat itu gemetar. Ia menatap kertas lusuh itu lama, lalu perlahan memasukkannya kembali ke tas.

Hari itu, hujan turun deras. Tapi Joe tak lagi menyukai suara hujan.


---

. Jarak yang Tak Pernah Diucapkan

Setelah hari itu, Joe berubah. Ia tetap tersenyum, tetap bercanda dengan teman-temannya, tetap mengikuti pelajaran dengan baik. Tapi ada yang hilang dari matanya.

Ia tak lagi menatap bangku depan.

Ia tak lagi menggambar bunga kecil di kertas.

Ia belajar mencintai dalam diam—dalam luka yang tak berdarah, dalam doa yang tak pernah terdengar.


---

 Tahun Berlalu, Tapi Luka Tetap

Empat tahun kemudian. Dunia berubah. Wida dan Joe sudah lulus. Mereka hidup di tempat berbeda. Jarang bertukar kabar.
paling sesekali tau dari teman

Tapi surat itu, yang dulu tak pernah sampai, masih disimpan Joe. Ditaruh di dalam buku kecil ditempat tidurnya. Kertasnya menguning, tapi isinya tetap sama.

“Saling Mencintai, Tapi Tak Saling Memiliki

Tahun berganti tahun, dan ada masanya reuni kelas
Singkat cerita Suasana reuni mulai sepi. Lampu-lampu kedai redup, hanya beberapa meja yang masih penuh tawa. Tapi di pojok ruangan, ada dua orang yang tenggelam dalam percakapan masa lalu yang tak pernah selesai.

Joe dan Wida duduk berhadapan. Gelas es teh, mereka hampir kosong, tapi tak satu pun dari mereka tergesa pulang.

“Aku suka kamu dulu, Wid,” kata Joe akhirnya, suaranya pelan tapi jelas.

Wida menatap mata Joe, dan tersenyum kecil. Ada genangan air di pelupuknya. “Aku tahu.”

“Dulu aku pengen bilang, tapi sebelum sempat... aku dengar kamu ngomong ke Ani kalau kamu nggak bisa nerima.”

Wida tertunduk, mengusap jemarinya yang gelisah.

“Aku ingat hari itu…” bisiknya. “Dan jujur, Jo… aku juga sebenarnya suka kamu. Tapi aku takut. Aku nggak ngerti apa yang aku rasain. Waktu itu aku pikir, kalau aku bilang iya ke kamu, semuanya bakal berubah. Aku takut kehilangan versi kamu yang aku kenal—yang diam-diam perhatian dari jauh.”

Joe tertawa pelan, meskipun sedikit  terlihat pucat. “Jadi kita… sama-sama suka? Tapi sama-sama diam?”

Wida mengangguk pelan, senyum getir di bibirnya.

“Lucu ya,” katanya. “Kita bisa duduk bareng sekarang dan bicara tentang semua ini… tapi bukan sebagai sepasang kekasih, hanya sebagai dua orang yang dulu pernah saling menunggu.”

Joe menatap langit-langit, menahan napas. “Kalau waktu bisa diulang…”

Wida memotongnya dengan lembut, “...aku nggak akan mengubah apa pun, Jo.”

“Kenapa?”

“Karena mungkin kita memang nggak ditakdirkan untuk jadi milik satu sama lain. Tapi kita ditakdirkan untuk saling menyentuh hidup satu sama lain, meski cuma sebentar.”

Joe terdiam.

Lalu ia berkata dengan lirih, “Cinta ternyata bukan soal memiliki, ya?”

Wida tersenyum, kali ini lebih dalam. Matanya berkaca-kaca. “Cinta… kadang cukup untuk dikenang. Untuk disimpan baik-baik dalam hati. Dan kalau suatu hari kamu merasa sendiri, ingat aja: ada seseorang yang dulu pernah diam-diam mencintaimu.”

Kamu sudah cukup berani. Kamu sudah cukup tulus. Cinta tidak harus selalu dibalas. Kadang, yang penting adalah pernah mencintai dengan jujur.”

Mereka saling menatap lama. Tak ada pelukan. Tak ada janji untuk kembali.

Hanya dua hati yang akhirnya saling memahami, meski harus melepaskan.


---

Tamat.