Selasa, 29 Juli 2025

PUISI YANG TAK PERNAH TUNTAS

PUISI YANG TAK PERNAH TUNTAS

Bagian 1: Kelas 2B dan Puisi Diam-Diam

Langit pagi itu mendung, tapi kelas 2B tetap ramai seperti biasa. Tawa-tawa kecil dari Ahmad dan Phur mengisi pojok belakang, sementara Arin sedang sibuk mengomel karena Joe lagi-lagi datang dengan kaus oblong kelunturan dan jaket hoodie lusuh yang tampak tak pernah dicuci.

"Joe, ini sekolah, bukan studio seniman gila!" semprot Arin sambil menyodorkan sisir. “Minimal rapihin rambut, kek.”

Joe hanya nyengir dan duduk di bangkunya, membuka buku catatan usangnya. Ia tak banyak bicara, tapi tangannya lincah mencoretkan puisi. Di halaman itu, sudah hampir penuh dengan kata-kata tentang embun, waktu, dan diam.

Di seberang ruangan, Wida duduk bersama Sulis dan Rahayu. Ia sesekali melirik ke arah Joe, tapi buru-buru mengalihkan pandangan saat mata mereka hampir bertemu.

Wida adalah gadis yang tidak suka jadi pusat perhatian. Ia berhijab dengan gaya sederhana, sering memakai warna-warna lembut yang selaras dengan kepribadiannya. Namun entah mengapa, pesona tenangnya justru membuat banyak orang tertarik padanya—termasuk Joe.

Diam-diam, Joe selalu mencuri waktu untuk melihat Wida dari kejauhan. Bukan karena ia ingin jadi pengagum rahasia, tapi karena ia tahu, bahkan jika ia berani bicara, dunia mereka terlalu jauh untuk disatukan.


---

Waktu istirahat, mereka semua berkumpul di kantin belakang. Meja besar dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang saling bercanda.

Ahmad membuka topik, “Kalau disuruh milih, siapa cewek paling kalem di kelas ini?”

Phur menjawab cepat, “Wida. Udah jelas.”

Wida hanya tertawa kecil, sementara Sulis menimpali, “Kalem sih kalem, tapi tajam juga kadang. Jangan salah.”

Joe hanya mendengarkan, tak ikut bercanda. Tapi Arin menatapnya curiga. Ia sudah lama tahu. Dari puisi-puisi yang tak pernah menyebut nama, tapi jelas menggambarkan Wida.

“Joe, kamu suka Wida ya?” tanya Arin tiba-tiba, tanpa aba-aba.

Joe kaget. “Gila. Nggak ah.”

“Bohong. Aku baca puisimu tentang ‘cahaya lembut yang takut disentuh’. Itu Wida banget.”

“Arin...” Joe menunduk. “Kalau aku ngomong... dia pasti ilfeel.”

“Dan kalau kamu diam terus?” Arin menantang. “Kamu siap kehilangan?”

Joe menatap halaman catatannya yang terbuka. Di sana, puisi baru sedang ditulisnya.


---

> Ada jarak yang tak diukur langkah
Hanya dihitung oleh diam dan waktu
Aku melihatmu, tapi tak berani menyapa
Karena tahu, bahagiamu belum tentu tempatku


Bagian 2: Salah Paham dan Sore yang Bisu

Hari itu langit tidak lagi mendung. Matahari bersinar malu-malu di balik awan, seperti enggan menyinari terlalu terang—seperti perasaan yang ingin dipendam saja.

Kelas 2B sedang ribut karena persiapan pentas seni sekolah. Semua murid dibagi kelompok. Wida dan Sulis kebagian dekorasi, sementara Joe—secara mengejutkan—masuk tim dokumentasi. Arin langsung tertawa begitu tahu.

“Cocok sih. Biar kamu bisa motret Wida diam-diam pake kamera sekolah,” cibir Arin sambil menyenggol bahu Joe.

Joe hanya menghela napas. “Aku nggak sefrontal itu, Rin.”

Namun Arin benar. Tugas dokumentasi itu memberikan Joe satu hal yang selama ini hanya bisa ia lakukan dari jauh: melihat Wida lebih dekat, tanpa harus menyentuh dunianya.


---

Sore itu, mereka sedang menata ruang aula. Joe berdiri agak jauh, merekam kegiatan teman-temannya. Ia menangkap tawa Wida, wajah seriusnya saat mengecat kain latar, dan momen kecil ketika ia menyelipkan anak rambut ke balik hijabnya.

Tapi kemudian, tanpa sengaja, Joe mendengar pembicaraan yang membuat hatinya runtuh pelan-pelan.

“Menurut kamu, Wida bakal jadian sama siapa ya?” tanya Rahayu pada Sulis, cukup keras terdengar.

“Entahlah. Banyak yang suka dia.”

Wida tertawa kecil. “Aku sih nggak suka cowok yang aneh-aneh. Yang suka pakai baju nggak jelas, penyendiri, puitis lebay gitu. Nggak banget.”

Joe berdiri mematung. Ia tahu, itu bukan sekadar sindiran. Itu tentang dirinya.

Ia menunduk, mematikan kamera. Lalu pergi diam-diam ke sisi taman sekolah, tempat biasanya ia menulis.

Arin menyusul. Ia tahu wajah Joe yang sedang patah, bahkan tanpa Joe perlu bilang.

“Kamu denger?” tanya Arin pelan.

Joe mengangguk, “Aku kayaknya cuma cocok buat nulis tentang cinta, bukan menjalani.”


---

Hari-hari berikutnya Joe jadi lebih pendiam dari biasanya. Bahkan puisinya terasa dingin. Sulis sampai protes saat membaca catatan Joe di perpustakaan.

“Lho, puisimu akhir-akhir ini nggak ada rasanya, Jo.”

Joe hanya tersenyum kaku. “Kadang, rasa itu mati saat tahu kenyataan.”


---

Beberapa minggu kemudian, pentas seni selesai. Semua tim dapat penghargaan simbolik, termasuk dokumentasi. Saat namanya dipanggil, Joe berjalan ke depan dengan ekspresi kosong. Tapi Wida ikut bertepuk tangan dengan lembut, seperti tak tahu apa pun yang sedang berkecamuk dalam dada Joe.

Arin mendekat ke Wida saat acara bubar.

“Wid,” katanya tanpa basa-basi, “kamu tahu nggak, Joe itu suka kamu.”

Wida terdiam.

Arin melanjutkan, “Tapi dia denger waktu kamu bilang nggak suka cowok aneh-aneh. Dan dia yakin itu tentang dia.”

Wida memucat. “Aku... aku cuma bercanda, Rin. Maksudku bukan gitu.”

“Tapi itu cukup buat bikin dia menyerah.”

Wida menunduk, matanya mulai berkaca.


---

Malam itu, Joe duduk di meja belajarnya, menulis puisi yang tidak selesai-selesai.

Ia menulis, lalu mencoret. Menulis lagi, mencoret lagi.

Di halaman terakhir, hanya ada empat baris:

> Aku menulis tentangmu seperti menulis hujan
Tak berharap langit merespon
Cukup bagiku jadi basah oleh rasa
Yang tak pernah kau tahu, tak apa


Bagian 3: Langit yang Tak Pernah Bertanya

Musim ujian datang seperti badai kecil yang memaksa seluruh siswa kelas 2B menundukkan kepala pada tumpukan buku dan kertas latihan. Suasana yang biasanya ramai menjadi lebih sunyi. Hanya suara detak jam dan gesekan pensil yang terdengar.

Namun, bagi Joe, sepi itu terasa lebih dalam dari biasanya.

Sejak sore di aula itu, ia tak lagi berani menulis tentang Wida. Bahkan menatapnya pun tak ia lakukan. Ia duduk di pojok kelas, paling dekat dengan jendela, seolah berharap angin bisa membawa semua rasa pergi begitu saja.

Di sisi lain kelas, Wida mulai memperhatikan perubahan itu. Biasanya Joe akan melirik sesekali, atau setidaknya tersenyum kaku saat mereka saling tak sengaja bertemu pandang. Tapi kini, ia seperti bayangan yang tak punya nama.

“Dia menjauh ya,” kata Wida pelan saat duduk berdua dengan Sulis di bangku taman belakang sekolah.

Sulis menatapnya. “Siapa?”

“Joe.”

“Ya... dia kayaknya berubah sejak pentas seni.”

Wida terdiam. Ada getir yang tak bisa ia sebut. Ia menyesal, tapi ia tak tahu bagaimana memperbaikinya.


---

Di suatu sore, Wida nekat menghampiri Joe yang sedang duduk sendirian di taman belakang sekolah, buku puisinya terbuka tapi kosong.

“Boleh duduk?” tanya Wida hati-hati.

Joe kaget, tapi mengangguk pelan.

Mereka diam beberapa saat. Hanya suara dedaunan yang saling menyapa angin.

“Aku dengar kamu suka nulis puisi,” kata Wida akhirnya.

Joe menoleh sedikit. “Dulu.”

“Kenapa berhenti?”

“Kadang... puisi nggak bisa melindungi perasaan dari kenyataan.”

Wida menatapnya, lalu berkata pelan, “Aku minta maaf.”

Joe diam.

“Aku... aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Waktu itu aku cuma bercanda. Aku nggak tahu kalau kamu denger... dan ternyata itu menyakitkan.”

Joe menutup bukunya. “Wida, kamu nggak salah. Aku yang salah. Aku berharap terlalu banyak dari diamku sendiri.”

“Kalau aku bilang... aku juga pernah suka kamu, apa kamu percaya?”

Joe mematung. Kata-kata itu terdengar seperti hujan di tengah kemarau panjang. Tapi ia ragu. Ia takut itu hanya rasa kasihan.

“Sudah terlambat, kan?” tanya Joe lirih.

Wida tersenyum pahit. “Mungkin. Atau mungkin kita cuma salah waktu.”


---

Malam itu, Joe pulang dan membuka halaman kosong yang sama. Tapi kali ini, ia menulis tanpa ragu.

> Langit tak pernah bertanya pada awan kenapa ia menangis
Ia hanya diam, seperti aku menatapmu diam-diam
Jika kau pernah bertanya, mungkin aku akan menjawab
Tapi kini, cukup langit yang tahu semuanya

Bagian 4: Reuni dan Rahasia yang Terlambat

Tahun-tahun berlalu seperti daun-daun yang jatuh satu per satu, perlahan tapi pasti mengubah musim. Tak terasa, sudah lima tahun sejak mereka semua lulus dari SMA. Kelas 2B kini tinggal kenangan dalam arsip ingatan—tertata, tapi berdebu.

Sampai suatu hari, sebuah pesan masuk ke grup alumni:

"Reuni kecil-kecilan di sekolah lama, Sabtu depan. Teman-teman 2B wajib hadir, ya! :)"

Satu per satu memberi tanda setuju. Sulis masih bawel di grup. Ahmad dan Phur, kini gemar kirim stiker lucu. Arin masih tajam dan to the point. Dan Wida—masih sama: sederhana, tak banyak bicara, tapi ketika menulis "insyaAllah hadir", jantung Joe berdetak lebih cepat.


---

Hari reuni datang.

Sekolah itu masih berdiri dengan cat dinding yang mulai kusam. Tapi aroma kenangannya tak pudar. Lapangan tempat mereka main futsal, lorong kelas dengan suara sepatu bersahut-sahutan, dan taman belakang yang pernah jadi saksi percakapan-percakapan diam mereka... semuanya tetap sama.

Joe datang lebih dulu. Kali ini ia berpakaian rapi, meski masih dengan gaya nyeleneh khasnya—kemeja putih dilapis jaket cokelat tua yang terlihat seperti peninggalan seniman tua.

Ia membawa sebuah buku kecil: kumpulan puisinya sendiri, yang baru saja diterbitkan. Tapi tak ada satu pun judul yang menyebutkan nama Wida. Hanya satu yang jelas—puisi terakhir berjudul: “Yang Tak Pernah Tuntas.”


---

Suasana reuni hangat. Tawa bersahutan, foto-foto nostalgia memenuhi layar ponsel, dan cerita-cerita lucu mengalir deras.

Tapi Joe menunggu.

Sampai akhirnya, Wida datang.

Tetap berhijab, tetap sederhana, tetap memancarkan pesona yang sama.

“Joe,” sapa Wida pelan sambil tersenyum.

Joe hanya mengangguk. “Sudah lama, ya.”

Mereka duduk berdua di taman belakang sekolah. Tempat kenangan itu tertinggal, menunggu dituntaskan.

“Aku baca bukumu,” kata Wida, pelan.

Joe tersenyum. “Kamu tahu itu tentangmu?”

Wida menatap langit. “Kupikir iya. Dan meski tak tertulis, rasanya terasa.”

Hening sejenak.

“Joe, kenapa kamu nggak pernah bilang waktu itu?”

Joe menunduk. “Karena kamu bilang kamu nggak suka cowok aneh. Karena aku pikir, kalau aku jujur... aku bakal kehilangan bahkan kesempatan untuk melihatmu dari jauh.”

Wida tersenyum pahit. “Padahal aku cuma takut. Aku bilang begitu karena... aku nggak tahu harus bersikap seperti apa kalau tahu perasaanku dibalas. Aku juga menyukaimu, Joe. Tapi aku pengecut.”

Joe tertawa pelan. “Jadi kita sama-sama diam, ya?”

“Dan akhirnya... kehilangan.”

Angin sore meniup lembut daun-daun kenangan yang gugur di antara mereka.

Joe membuka bukunya, menunjukkan halaman terakhir.

> Dan jika waktu membawa kita kembali ke titik awal
Mungkin aku akan berani berkata
Bahwa kau pernah kucintai, dengan seluruh diam yang kupunya
Tapi cinta, tak harus dimiliki untuk bisa abadi



Wida membaca, lalu mengangguk. “Puisi yang akhirnya selesai, ya?”

Joe tersenyum. “Atau mungkin, memang harus selesai tanpa bersama.”


---

Mereka berdua berdiri. Tak saling genggam. Tak saling janji. Tapi saling tahu.

Bahwa ada cinta yang cukup hadir dalam kenangan, tanpa harus tinggal di kenyataan.


Bagian 5: Epilog – Surat di Halaman Terakhir

Beberapa minggu setelah reuni, hidup kembali berjalan seperti biasa. Semua orang kembali ke dunia masing-masing—kesibukan, pekerjaan, keluarga, dan waktu yang terus menggerus apa pun yang tak diikat dengan pasti.

Tapi Joe merasa ada sesuatu yang belum selesai.

Hingga suatu malam, ia membuka lagi buku puisinya yang mulai usang. Di halaman terakhir yang kosong, ia menulis sebuah surat. Bukan untuk diterbitkan. Bukan untuk dibacakan. Tapi untuk ditinggalkan.


---

Untuk Wida,
Yang pernah kusebut dalam diam-diam paling jujur

Aku tahu, waktu tak akan membawa kita ke titik yang sama lagi. Mungkin itu baik. Mungkin memang begitu cara semesta menjaga agar perasaan tidak berubah menjadi luka yang lebih dalam.

Tapi, Wid... kamu harus tahu satu hal:

Aku tidak pernah menyesal mencintaimu. Meski tak pernah utuh, meski tak pernah kau genggam.

Cinta yang tak diucapkan memang menyakitkan, tapi diam-diam... itu juga yang menyelamatkanku dari menjadi egois. Karena aku tak pernah ingin memaksamu tinggal di dalam cerita yang hanya aku tulis sendiri.

Kita pernah punya kesempatan, atau setidaknya ilusi tentangnya. Tapi aku bersyukur kita tidak memaksakan.

Karena akhirnya aku sadar, ada rasa yang lebih kuat dari cinta yang memiliki:
Rasa yang tetap setia, meski tahu tak akan pernah bisa bersama.

Terima kasih sudah jadi puisi paling indah dalam hidupku.
Meski tak pernah kubaca keras-keras, kamu selalu menjadi suara yang terdengar paling dalam di kepalaku.

Salam dari yang mencintaimu,
Tapi melepaskan dengan rela.

– Joe


---

Beberapa bulan kemudian, Wida menerima paket kecil di depan rumahnya. Tanpa nama pengirim.

Di dalamnya, hanya ada sebuah buku puisi dan secarik kertas bertuliskan tangan:

> “Jika suatu hari kamu merindukanku, buka halaman terakhir.”



Ia membukanya pelan. Menemukan surat itu.

Matanya basah.

Bukan karena patah, tapi karena memahami:
Bahwa cinta yang paling kuat bukan tentang bersama, tapi tentang tidak pergi... meski dalam bentuk yang lain.


---
Tamat...




Nb: mohon maaf bila ada kata atau tulisan yg kurang baik