Berikut bagian dari cerpen atau novel berjudul "Salam Rindu dari Radio ASRI"
(setting: awal 2000-an, kisah cinta diam-diam yang hanya tersampaikan lewat puisi dan siaran radio)
---
Bagian 1: Frekuensi yang Sama
Radio ASRI, 2002.
Suara serak khas penyiar malam menyelinap pelan dari speaker kecil radio Panasonic yang sudah mulai menguning dimakan usia. Di kamar yang sempit, hanya ditemani kipas angin tua dan temaram lampu bohlam, Joe duduk memeluk lutut, mendengarkan setiap kata yang keluar dari siaran favoritnya.
> “Salam buat W yang duduk di barisan kedua dari belakang, kelas 2B. Dari J yang bajunya jarang disetrika, tapi katanya hatinya selalu lurus… Katanya, jangan dulu tahu siapa aku. Tapi setiap malam, aku doakan kamu lewat udara…”
Joe tersenyum sendiri. Itu salamnya. Disampaikan lewat radio, lewat suara orang lain. Dan tentu saja, lewat kode. Bukan nama, bukan wajah. Hanya huruf inisial, hanya gaya khas yang bisa ditebak kalau dia memperhatikan.
Dan Joe tahu—dia memang berharap Wida memperhatikan.
---
Di sekolah, kelas 2B SMA di masaran
“Wida, kamu dengerin radio ASRI tadi malam?”
Arin, teman sebangkunya, membisikkan sambil membetulkan jilbabnya yang agak miring.
Wida mengangguk pelan, senyum tipisnya muncul. “Iya… kayaknya buat aku, ya?”
“Yakin?” Arin menyikutnya pelan.
Wida tak menjawab, hanya menunduk, memainkan ujung pulpennya. Di dalam hatinya, ada desir kecil yang tak bisa dia jelaskan. Tapi dia terlalu baik menjaga citra, terlalu takut untuk berpikir yang aneh-aneh.
---
Di kantin sekolah
“Bro, semalam salam lu nyampe tuh,” kata Ahmad sambil mencomot gorengan.
Zulis menimpali, “Kalau dia nggak tidur, pasti ngerti itu dari lu, Jo.”
Joe hanya nyengir. Bajunya masih kemeja putih sekolah, tapi sudah setengah keluar dari celana. Sepatunya beda warna kanan kiri. Tapi siapa yang peduli? Teman-temannya sudah terbiasa. Bagi mereka, Joe itu aneh tapi menyenangkan.
“Gue nggak berharap dia tahu. Gue cuma pengen dia denger. Itu aja.”
Joe menatap jauh, matanya sedikit sembunyi di balik rambut yang agak panjang.
---
Puisi malam itu, ditulis di buku lusuhnya:
> Wida,
Namamu tak pernah kuteriakkan di keramaian,
tapi kusebut diam-diam dalam setiap bait dan desah udara malam.
Kau tak perlu tahu siapa aku,
cukup dengarkan... karena rinduku menyelinap lewat suara penyiar yang tak kau kenal.
---
Di kelas
Joe duduk di pojok, belakang dekat jendela. Sementara Wida duduk dua baris di depannya, dekat Arin. Tapi jarak itu seperti dua dunia. Joe tak pernah benar-benar menyapa langsung. Hanya kadang-kadang bertukar senyum. Kadang saling lirik. Lalu pura-pura tak melihat.
Di saat pelajaran Bahasa Indonesia, meminta siswa menulis puisi.
“Joe, kamu yang mulai. Bacakan puisi kamu,” perintah guru.
Joe berdiri, agak malas-malasan, lalu mengeluarkan kertas dari saku.
> Bila mata bisa bicara,
aku sudah lama mengajakmu bicara tanpa kata.
Bila angin bisa menulis,
namamu akan kutulis di setiap daun yang jatuh pelan di halaman sekolah.
Hening.
Beberapa teman cewek berbisik, tertawa kecil. Tapi Wida hanya diam, tangannya menggenggam buku. Arin melirik cepat, lalu tersenyum kecil. Dia tahu, Wida sedang menahan detak yang tak biasa.
---
Suatu sore, Wji dan Wati menghampiri Joe di perpustakaan
“Jo, kamu suka Wida, ya?” tanya Wji tiba-tiba.di barengi senyum Wati dengan penasaran.
Joe nyaris tersedak.
“Gimana ya... keliatan banget sih, Jo,” kata Wati sambil cekikikan.
Joe garuk-garuk kepala. “Jangan gitu dong... gue cuma suka kirim salam aja…” sambil cengengesan
“Wida itu sebenarnya penasaran, lho. Tapi katanya dia denger... kamu itu cowok yang suka aneh-aneh. Katanya dia gak tertarik sama cowok model begitu,” ujar Wji.
Joe terdiam. Senyumnya menguap. Tiba-tiba udara sore jadi dingin.
---
Malam itu, radio ASRI kembali menyala
> “Salam buat kamu yang sudah cukup indah tanpa harus memiliki...”
“Request lagu: 'Mengenangmu' dari Kerispatih.”
Joe menatap langit-langit. Lagu itu memutar luka yang belum sempat lahir.
Tapi seperti biasa, dia hanya tersenyum. Karena Wida tetap mendengarnya, walau tak pernah tahu siapa yang mengirimkan semua ini.
---
Satu minggu setelah salam terakhir Joe diputar di Radio ASRI
Di ruang kelas 2B, pagi itu terasa hambar. Joe lebih pendiam dari biasanya. Tak ada komentar usil saat Pak joko masuk kelas, tak ada candaan receh saat Phur melempar kertas dari belakang. Yang biasanya mengundang tawa, kini hanya diam.
“Lo kenapa sih, Jo?” tanya Ratno saat istirahat.
Joe hanya mengangkat bahu, sambil melirik ke arah depan kelas. Wida sedang membaca buku, jilbabnya rapi, wajahnya tenang seperti biasa. Tapi buat Joe, sekarang tatapan itu seperti tembok tebal.
“Gue denger…”
Joe akhirnya membuka suara, pelan.
“…katanya Wida gak suka cowok kayak gue.”
Ratno dan Phur saling pandang.
“halah..Siapa yang ngomong gitu?” tanya Phur.
“ada katanya dia denger Wida ngomong gitu ke Arin.”
Zulis muncul dari belakang mereka sambil membawa esteh.
“Jo, lu yakin itu buat lu? Bisa aja maksudnya cowok ‘aneh’ yang lain,” kata Zulis mencoba menyelamatkan mood.
Joe menatap langit-langit kelas. “Gue gak marah. Gue cuma… kehilangan alasan buat terus berharap.”
---
Di kamar Joe malam harinya
Radio tetap menyala. Tapi kali ini Joe hanya mendengarkan. Tak lagi mengirim salam. Tak lagi menulis puisi.
Tangannya memainkan buku kecil yang biasanya penuh sajak.
Kosong.
Lalu, pelan-pelan dia tulis:
> Aku pernah menjadi pujangga yang penuh semangat,
hanya untuk satu wajah yang tak pernah menoleh ke arahku.
Kini pena ini kaku,
karena rindu tak lagi tahu arahnya.
---
Hari berikutnya di sekolah
Wida menyadari sesuatu. Sudah seminggu tidak ada lagi salam aneh di radio malam. Tidak ada puisi yang dibacakan Bu Tatik yang terasa seperti ditujukan ke dirinya. Hatinya gelisah, tapi tak tahu harus ke mana.
“Rin, kamu yakin... itu Joe?” tanya Wida pelan.
Arin menatap sahabatnya. “Aku gak yakin sih… tapi aku rasa iya.”
“Dulu kamu bilang dia aneh…”
“Ya, tapi... aku gak bilang gak tertarik,” jawab Wida pelan.
Wida menunduk. “Aku... cuma takut digoda teman. Takut salah nebak. Takut kelihatan ge-er.”
---
Di perpustakaan
Wji dan Wati bertemu Joe lagi. Kali ini mereka membawa kabar.
“Jo, kemarin Wida tanya-tanya tentang kamu,” ujar Wati setengah berbisik.
Joe menatapnya dengan tatapan tak percaya. Sambil senyum
“Tapi dia gak yakin itu kamu yang kirim salam dan puisi-puisi itu…” tambah Wji.
Joe tersenyum kecut. “ haha ...Terlambat. Gue udah berhenti nulis untuk di kirim ke radio.”
“Tapi dia suka puisi-puisi itu, Jo,” Wji menekankan.
“Dia suka puisinya. Bukan penulisnya,” jawab Joe sambil tertawa dan menutup buku dan bangkit dari kursinya.
---
Malam itu
Radio kembali menyala. Tapi bukan suara salam yang keluar.
Joe menulis lagi, tapi bukan untuk dikirim.
> Kepada kamu yang tidak pernah tahu siapa aku,
biarlah aku tetap menjadi suara tanpa wajah.
Karena cinta kadang harus cukup jadi lagu,
yang diputar, didengar, lalu dilupakan.
---
Wida di kamarnya, malam yang sama
Wida gelisah dan berdebar, sambil memutar radio yang hening.
Tak ada salam malam ini.
Tak ada puisi.
Dan tiba-tiba, dia merindukan sesuatu yang tak pernah dia miliki.
---
Di sekolah seminggu kemudian
Wida menyelipkan sesuatu di laci meja Joe. Sebuah kertas kecil, ditulis tangan.
> Kalau kamu yang menulis puisi-puisi itu…
terima kasih.
Aku tidak menolak cinta yang datang dengan cara seindah itu.
Aku hanya terlalu diam untuk membalasnya.
Joe membaca kertas itu diam-diam di toilet belakang sekolah. Matanya basah, tapi bukan karena sedih.
Hanya saja… semuanya sudah terasa telat.
---
Puisi terakhir yang Joe tulis malam itu:
> Kita seperti dua stasiun radio,
memutar lagu yang sama di waktu yang berbeda.
Saling mengirim sinyal,
tapi tak pernah benar-benar bisa bertemu.
.......
Tahun 2012.
Sebuah aula sederhana di masaran dipenuhi suara tawa, musik nostalgia, dan aroma kue basah khas hajatan. Spanduk besar tergantung di atas panggung kecil:
> "REUNI AKBAR ANGKATAN 2004 – KELAS 2B SMA"
Joe berdiri di dekat meja minuman, memegang gelas plastik berisi teh hangat. Masih dengan gaya pakaian seenaknya: celana jeans pudar, kaos polos yang digulung di lengan, dan jaket penuh logo yang mungkin dibelinya sejak kpn.
Zulis, Phur, Ahmad, dan Ratno sudah tertawa-tawa di tengah ruangan, sibuk saling ejek dan membahas masa lalu.
“Jo, lo ngelamun aja. Nunggu siapa?” tanya Phur, menyikut pelan.
Joe hanya tersenyum samar.
“o iya... kira kira Wida datang gak ya?”
Seketika itu semua sahabatnya diam. Lalu Zulis berkata pelan, “insya Allah datang kawan.... Tadi aku lihat dia di parkiran. Dia… bawa anak.”
Joe menunduk. “Oh…”
---
Beberapa menit kemudian
Wida masuk ke aula. Penampilannya tetap sederhana. Jilbab warna tanah, gamis polos, dan raut wajah yang seolah tak berubah dari sepuluh tahun lalu—masih kalem, masih punya cahaya lembut itu.
Mata mereka bertemu. Sebentar.
Joe menyapa dengan anggukan kecil. Wida membalas dengan senyum tipis. Tidak ada pelukan. Tidak ada sapaan akrab seperti yang lain. Tapi suasana sekeliling mereka langsung terasa pelan.
---
Di luar aula, setelah acara hampir selesai
Wida duduk di bangku taman kecil depan aula, sendirian. Joe memberanikan diri mendekat.
“Boleh duduk?”
“Silakan,” jawab Wida. Senyumnya masih lembut, tapi kali ini ada sorot haru di matanya.
Beberapa detik hanya diam.
Lalu Wida bicara pelan.
“Dulu… itu kamu ya? Yang suka kirim salam di Radio ASRI.”
Joe tersenyum. “hehe maaf Iya.”
Wida menunduk. “Aku bodoh ya… kenapa aku gak pernah yakin?”
Joe menatap langit malam. “Mungkin bukan salah kamu. Aku juga terlalu pengecut untuk bicara langsung.”
Wida tersenyum, matanya mulai berkaca.
“Aku pernah nunggu salam itu tiap malam. Tapi ketika kamu berhenti… aku bingung. Lalu aku takut. Takut kalau selama ini cuma perasaanku sendiri yang bodoh.”
Joe tertawa pelan. “Lucu ya. Kita saling tunggu, tapi saling diam terlalu egois kita.”
“Padahal… aku juga suka,” kata Wida akhirnya. “Sejak pertama kali dengar puisi itu… yang tentang mata bicara tanpa kata.”
Joe memejamkan mata. Kata-kata itu masih melekat kuat dalam ingatannya.
> "Bila mata bisa bicara,
aku sudah lama mengajakmu bicara tanpa kata.”
---
Hening sejenak.
“Waktu kamu nikah… aku baru sadar, cinta itu gak harus selalu sampai,” kata Joe.
Wida mengangguk. “Iya… dan kadang, cinta yang paling jujur… justru yang tak sempat dikatakan.”
---
Wida mengeluarkan sesuatu dari dompetnya.
Kertas kecil. Sedikit lusuh.
Tulisan tangan.
> Kalau kamu yang menulis puisi-puisi itu… terima kasih.
“Itu… kamu simpan?” tanya Joe, hampir tidak percaya.
“Aku simpan selama ini. Aku cuma gak tahu harus ngapain. Karena waktu aku siap… kamu udah berhenti menulis.”
---
Beberapa detik mereka hanya menatap. Lalu Wida berdiri.
“Aku harus pulang. Suamiku nunggu di mobil.”
Joe mengangguk."ok terimakasih waktunya"
Tak ada rasa iri, hanya pelan-pelan… sebuah perpisahan yang akhirnya benar-benar bisa diterima.
“Wida,” panggil Joe sebelum Wida benar-benar pergi.
Wida menoleh.
“Kalau kamu masih suka dengerin radio… dengarkan malam ini.”
Wida tersenyum. “Insya Alloh Aku pasti dengar.”
---
Malam itu. Radio ASRI, 98.6 FM.
Suara penyiar tua, masih sama, walau lebih serak dari beberapa tahun lalu.
> “Salam dari J, untuk seseorang yang pernah duduk di barisan depan kelas 2B… dan menyimpan bait-bait cinta tanpa suara.
Katanya, dia tak menyesal tidak memiliki…
Karena bisa mencintai diam-diam saja, sudah cukup indah.”
> Request lagu: "Cinta Dalam Hati – Ungu"
---
Joe menulis puisi terakhir di buku yang dulu hampir ia bakar:
> Kita memang tak pernah menjadi satu,
tapi aku tetap bersyukur pernah mencintaimu.
Karena cinta yang tak sampai,
kadang justru yang paling murni.
__&------
---
2009 di surabaya
Joe kini tinggal sendiri dikamar kontrakan sederhana. Sehari-hari ia bekerja sebagai pedagang. Penghasilan g besar, tapi cukup untuk makan, beli kopi saset, dan sesekali mengirim puisi ke majalah atau koran
Rambutnya makin gondrong. Tapi kebiasaan memakai pakaian sesuka hati belum hilang. Kadang batik dipasangkan dengan celana jeans sobek. Teman-teman sekitar sudah terbiasa.
Dan di malam hari, setelah pulang kerja semakin sepi dan dunia reda, Joe masih menulis.
Untuk siapa?
Dia sendiri pun kadang tak tahu.
Atau… dia pura-pura tak tahu.
---
> Di balik huruf-huruf yang kupilih dengan hati-hati,
masih ada satu nama yang selalu kusembunyikan rapi.
Bukan karena tak ingin disebut,
tapi karena tak ingin terluka sekali lagi.
---
Suatu sore saat santai, menikmati senja
Joe mengecek notifikasi di HP lamanya. Tiba-tiba satu SMS masuk.
Nomor tak dikenal.
Tapi namanya langsung membuat dadanya sesak.
> "Assalamu’alaikum, Joe. Ini Wida. Maaf kalau ganggu. Aku pengen baca sajak tulusanmu, Kalau boleh… aku pengen baca kumpulan puisimu. Yang dulu, yang lama, yang kamu simpan sendiri. Boleh?"
Joe terdiam lama.
Ia menatap layar kecil itu, seolah tak percaya.
Lalu dia membalas:
> "Wa’alaikumsalam, Wida. Buku itu nggak pernah dicetak. Hanya kutulis tangan. Tapi kalau kamu benar-benar ingin membacanya... Insyallah saya kasih. Buku itu hanya kuberikan ke orang yang paling mengerti kenapa aku menulis."
---
Seminggu kemudian.
Di sebuah kedaikecil joe dia menunggu.
Meja kayu tua dan segelas esteh, satu buku puisi bersampul coklat terikat tali kain lusuh.
Dan Wida datang.
Masih dengan senyum tenang dan jilbab sederhana. Kali ini lebih dewasa, lebih matang, tapi tetap membuat dada Joe sesak oleh kenangan.
Mereka tidak banyak bicara.
Joe menyerahkan buku itu.
Wida membuka lembar pertama.
Puisi yang dulu hanya ia dengar lewat radio, kini ada di hadapannya.
> Untuk kamu yang tak pernah sempat kubilang "aku cinta",
tapi kusebut dalam setiap bait dengan nama yang tidak pernah tertulis.
Wida tersenyum. Matanya berkaca.
“Terima kasih… sudah mencintaiku sediam itu, Joe.”
Joe menatapnya.
“Kamu cinta pertama yang tak pernah selesai.”
---
Mereka tak saling menyentuh. Tak ada pelukan. Tak ada janji.
Tapi hari itu, di kedai kecil itu—puisi-puisi Joe akhirnya sampai pada siapa yang ditujunya. Tak perlu diketik. Tak perlu disiarkan radio.
Hanya dua hati yang akhirnya tahu:
bahwa cinta memang tak harus memiliki, tapi layak dikenang.
---
Epilog
Joe blm bisa menikah.
Dia terus menulis, kadang mengirim puisi ke komunitas sastra, kadang di majalah menulis puisi tentang langit, tentang angin, dan kadang... tentang seseorang yang tak pernah ia sebutkan namanya.
Wida membaca habis bukunya malam itu.
Dan ia tahu, tak semua kisah harus dituntaskan.
Karena ada cinta yang tak tumbuh untuk dimiliki, tapi cukup untuk menghidupi satu jiwa sepanjang usia.
---
PUISI TERAKHIR – di halaman paling akhir buku Joe:
> Namamu tak kutulis lagi di radio,
tapi kau tetap hadir di setiap spasi puisiku.
Karena cinta pertama,
bukan untuk dimiliki,
melainkan untuk dikenang dengan penuh syukur dan diam-diam.
Selesai
Nb: mohon maaf bila ada kesalahan kata atau kesamaan cerita pribadi pembaca, Karana tulisan ini hanya karangan cerita