Rabu, 30 Juli 2025

kisah

Berikut bagian dari cerpen atau novel berjudul "Salam Rindu dari Radio ASRI"
(setting: awal 2000-an, kisah cinta diam-diam yang hanya tersampaikan lewat puisi dan siaran radio)


---

Bagian 1: Frekuensi yang Sama

Radio ASRI, 2002.
Suara serak khas penyiar malam menyelinap pelan dari speaker kecil radio Panasonic yang sudah mulai menguning dimakan usia. Di kamar yang sempit, hanya ditemani kipas angin tua dan temaram lampu bohlam, Joe duduk memeluk lutut, mendengarkan setiap kata yang keluar dari siaran favoritnya.

> “Salam buat W yang duduk di barisan kedua dari belakang, kelas 2B. Dari J yang bajunya jarang disetrika, tapi katanya hatinya selalu lurus… Katanya, jangan dulu tahu siapa aku. Tapi setiap malam, aku doakan kamu lewat udara…”



Joe tersenyum sendiri. Itu salamnya. Disampaikan lewat radio, lewat suara orang lain. Dan tentu saja, lewat kode. Bukan nama, bukan wajah. Hanya huruf inisial, hanya gaya khas yang bisa ditebak kalau dia memperhatikan.

Dan Joe tahu—dia memang berharap Wida memperhatikan.


---

Di sekolah, kelas 2B SMA di masaran 

“Wida, kamu dengerin radio ASRI tadi malam?”
Arin, teman sebangkunya, membisikkan sambil membetulkan jilbabnya yang agak miring.
Wida mengangguk pelan, senyum tipisnya muncul. “Iya… kayaknya buat aku, ya?”

“Yakin?” Arin menyikutnya pelan.

Wida tak menjawab, hanya menunduk, memainkan ujung pulpennya. Di dalam hatinya, ada desir kecil yang tak bisa dia jelaskan. Tapi dia terlalu baik menjaga citra, terlalu takut untuk berpikir yang aneh-aneh.


---

Di kantin sekolah

“Bro, semalam salam lu nyampe tuh,” kata Ahmad sambil mencomot gorengan.
Zulis menimpali, “Kalau dia nggak tidur, pasti ngerti itu dari lu, Jo.”

Joe hanya nyengir. Bajunya masih kemeja putih sekolah, tapi sudah setengah keluar dari celana. Sepatunya beda warna kanan kiri. Tapi siapa yang peduli? Teman-temannya sudah terbiasa. Bagi mereka, Joe itu aneh tapi menyenangkan.

“Gue nggak berharap dia tahu. Gue cuma pengen dia denger. Itu aja.”
Joe menatap jauh, matanya sedikit sembunyi di balik rambut yang agak panjang.


---

Puisi malam itu, ditulis di buku lusuhnya:

> Wida,
Namamu tak pernah kuteriakkan di keramaian,
tapi kusebut diam-diam dalam setiap bait dan desah udara malam.
Kau tak perlu tahu siapa aku,
cukup dengarkan... karena rinduku menyelinap lewat suara penyiar yang tak kau kenal.




---

Di kelas

Joe duduk di pojok, belakang dekat jendela. Sementara Wida duduk dua baris di depannya, dekat Arin. Tapi jarak itu seperti dua dunia. Joe tak pernah benar-benar menyapa langsung. Hanya kadang-kadang bertukar senyum. Kadang saling lirik. Lalu pura-pura tak melihat.

Di saat pelajaran Bahasa Indonesia, meminta siswa menulis puisi.

“Joe, kamu yang mulai. Bacakan puisi kamu,” perintah guru.

Joe berdiri, agak malas-malasan, lalu mengeluarkan kertas dari saku.

> Bila mata bisa bicara,
aku sudah lama mengajakmu bicara tanpa kata.
Bila angin bisa menulis,
namamu akan kutulis di setiap daun yang jatuh pelan di halaman sekolah.



Hening.
Beberapa teman cewek berbisik, tertawa kecil. Tapi Wida hanya diam, tangannya menggenggam buku. Arin melirik cepat, lalu tersenyum kecil. Dia tahu, Wida sedang menahan detak yang tak biasa.


---

Suatu sore, Wji dan Wati menghampiri Joe di perpustakaan

“Jo, kamu suka Wida, ya?” tanya Wji tiba-tiba.di barengi senyum Wati dengan penasaran.

Joe nyaris tersedak.

“Gimana ya... keliatan banget sih, Jo,” kata Wati sambil cekikikan.

Joe garuk-garuk kepala. “Jangan gitu dong... gue cuma suka kirim salam aja…” sambil cengengesan

“Wida itu sebenarnya penasaran, lho. Tapi katanya dia denger... kamu itu cowok yang suka aneh-aneh. Katanya dia gak tertarik sama cowok model begitu,” ujar Wji.

Joe terdiam. Senyumnya menguap. Tiba-tiba udara sore jadi dingin.


---

Malam itu, radio ASRI kembali menyala

> “Salam buat kamu yang sudah cukup indah tanpa harus memiliki...”
“Request lagu: 'Mengenangmu' dari Kerispatih.”



Joe menatap langit-langit. Lagu itu memutar luka yang belum sempat lahir.
Tapi seperti biasa, dia hanya tersenyum. Karena Wida tetap mendengarnya, walau tak pernah tahu siapa yang mengirimkan semua ini.


---
Satu minggu setelah salam terakhir Joe diputar di Radio ASRI

Di ruang kelas 2B, pagi itu terasa hambar. Joe lebih pendiam dari biasanya. Tak ada komentar usil saat Pak joko masuk kelas, tak ada candaan receh saat Phur melempar kertas dari belakang. Yang biasanya mengundang tawa, kini hanya diam.

“Lo kenapa sih, Jo?” tanya Ratno saat istirahat.

Joe hanya mengangkat bahu, sambil melirik ke arah depan kelas. Wida sedang membaca buku, jilbabnya rapi, wajahnya tenang seperti biasa. Tapi buat Joe, sekarang tatapan itu seperti tembok tebal.

“Gue denger…”
Joe akhirnya membuka suara, pelan.
“…katanya Wida gak suka cowok kayak gue.”

Ratno dan Phur saling pandang.

“halah..Siapa yang ngomong gitu?” tanya Phur.

“ada katanya dia denger Wida ngomong gitu ke Arin.”

Zulis muncul dari belakang mereka sambil membawa esteh.

“Jo, lu yakin itu buat lu? Bisa aja maksudnya cowok ‘aneh’ yang lain,” kata Zulis mencoba menyelamatkan mood.

Joe menatap langit-langit kelas. “Gue gak marah. Gue cuma… kehilangan alasan buat terus berharap.”


---

Di kamar Joe malam harinya
Radio tetap menyala. Tapi kali ini Joe hanya mendengarkan. Tak lagi mengirim salam. Tak lagi menulis puisi.

Tangannya memainkan buku kecil yang biasanya penuh sajak.

Kosong.

Lalu, pelan-pelan dia tulis:

> Aku pernah menjadi pujangga yang penuh semangat,
hanya untuk satu wajah yang tak pernah menoleh ke arahku.
Kini pena ini kaku,
karena rindu tak lagi tahu arahnya.




---

Hari berikutnya di sekolah

Wida menyadari sesuatu. Sudah seminggu tidak ada lagi salam aneh di radio malam. Tidak ada puisi yang dibacakan Bu Tatik yang terasa seperti ditujukan ke dirinya. Hatinya gelisah, tapi tak tahu harus ke mana.

“Rin, kamu yakin... itu Joe?” tanya Wida pelan.

Arin menatap sahabatnya. “Aku gak yakin sih… tapi aku rasa iya.”
“Dulu kamu bilang dia aneh…”

“Ya, tapi... aku gak bilang gak tertarik,” jawab Wida pelan.

Wida menunduk. “Aku... cuma takut digoda teman. Takut salah nebak. Takut kelihatan ge-er.”


---

Di perpustakaan

Wji dan Wati bertemu Joe lagi. Kali ini mereka membawa kabar.

“Jo, kemarin Wida tanya-tanya tentang kamu,” ujar Wati setengah berbisik.

Joe menatapnya dengan tatapan tak percaya. Sambil senyum 

“Tapi dia gak yakin itu kamu yang kirim salam dan puisi-puisi itu…” tambah Wji.

Joe tersenyum kecut. “ haha ...Terlambat. Gue udah berhenti nulis untuk di kirim ke radio.”

“Tapi dia suka puisi-puisi itu, Jo,” Wji menekankan.

“Dia suka puisinya. Bukan penulisnya,” jawab Joe sambil tertawa dan menutup buku dan bangkit dari kursinya.


---

Malam itu

Radio kembali menyala. Tapi bukan suara salam yang keluar.
Joe menulis lagi, tapi bukan untuk dikirim.

> Kepada kamu yang tidak pernah tahu siapa aku,
biarlah aku tetap menjadi suara tanpa wajah.
Karena cinta kadang harus cukup jadi lagu,
yang diputar, didengar, lalu dilupakan.




---

Wida di kamarnya, malam yang sama

Wida gelisah dan berdebar, sambil memutar radio yang hening.

Tak ada salam malam ini.

Tak ada puisi.

Dan tiba-tiba, dia merindukan sesuatu yang tak pernah dia miliki.


---

Di sekolah seminggu kemudian

Wida menyelipkan sesuatu di laci meja Joe. Sebuah kertas kecil, ditulis tangan.

> Kalau kamu yang menulis puisi-puisi itu…
terima kasih.
Aku tidak menolak cinta yang datang dengan cara seindah itu.
Aku hanya terlalu diam untuk membalasnya.



Joe membaca kertas itu diam-diam di toilet belakang sekolah. Matanya basah, tapi bukan karena sedih.

Hanya saja… semuanya sudah terasa telat.


---

Puisi terakhir yang Joe tulis malam itu:

> Kita seperti dua stasiun radio,
memutar lagu yang sama di waktu yang berbeda.
Saling mengirim sinyal,
tapi tak pernah benar-benar bisa bertemu.
.......

Tahun 2012.

Sebuah aula sederhana di masaran dipenuhi suara tawa, musik nostalgia, dan aroma kue basah khas hajatan. Spanduk besar tergantung di atas panggung kecil:

> "REUNI AKBAR ANGKATAN 2004 – KELAS 2B SMA"



Joe berdiri di dekat meja minuman, memegang gelas plastik berisi teh hangat. Masih dengan gaya pakaian seenaknya: celana jeans pudar, kaos polos yang digulung di lengan, dan jaket penuh logo yang mungkin dibelinya sejak kpn.

Zulis, Phur, Ahmad, dan Ratno sudah tertawa-tawa di tengah ruangan, sibuk saling ejek dan membahas masa lalu.

“Jo, lo ngelamun aja. Nunggu siapa?” tanya Phur, menyikut pelan.

Joe hanya tersenyum samar.

“o iya... kira kira Wida datang gak ya?”

Seketika itu semua sahabatnya diam. Lalu Zulis berkata pelan, “insya Allah datang kawan.... Tadi aku lihat dia di parkiran. Dia… bawa anak.”

Joe menunduk. “Oh…”


---

Beberapa menit kemudian

Wida masuk ke aula. Penampilannya tetap sederhana. Jilbab warna tanah, gamis polos, dan raut wajah yang seolah tak berubah dari sepuluh tahun lalu—masih kalem, masih punya cahaya lembut itu.

Mata mereka bertemu. Sebentar.

Joe menyapa dengan anggukan kecil. Wida membalas dengan senyum tipis. Tidak ada pelukan. Tidak ada sapaan akrab seperti yang lain. Tapi suasana sekeliling mereka langsung terasa pelan.


---

Di luar aula, setelah acara hampir selesai

Wida duduk di bangku taman kecil depan aula, sendirian. Joe memberanikan diri mendekat.

“Boleh duduk?”
“Silakan,” jawab Wida. Senyumnya masih lembut, tapi kali ini ada sorot haru di matanya.

Beberapa detik hanya diam.

Lalu Wida bicara pelan.

“Dulu… itu kamu ya? Yang suka kirim salam di Radio ASRI.”

Joe tersenyum. “hehe maaf Iya.”

Wida menunduk. “Aku bodoh ya… kenapa aku gak pernah yakin?”

Joe menatap langit malam. “Mungkin bukan salah kamu. Aku juga terlalu pengecut untuk bicara langsung.”

Wida tersenyum, matanya mulai berkaca.

“Aku pernah nunggu salam itu tiap malam. Tapi ketika kamu berhenti… aku bingung. Lalu aku takut. Takut kalau selama ini cuma perasaanku sendiri yang bodoh.”

Joe tertawa pelan. “Lucu ya. Kita saling tunggu, tapi saling diam terlalu egois kita.”

“Padahal… aku juga suka,” kata Wida akhirnya. “Sejak pertama kali dengar puisi itu… yang tentang mata bicara tanpa kata.”

Joe memejamkan mata. Kata-kata itu masih melekat kuat dalam ingatannya.

> "Bila mata bisa bicara,
aku sudah lama mengajakmu bicara tanpa kata.”




---

Hening sejenak.

“Waktu kamu nikah… aku baru sadar, cinta itu gak harus selalu sampai,” kata Joe.

Wida mengangguk. “Iya… dan kadang, cinta yang paling jujur… justru yang tak sempat dikatakan.”


---

Wida mengeluarkan sesuatu dari dompetnya.

Kertas kecil. Sedikit lusuh.
Tulisan tangan.

> Kalau kamu yang menulis puisi-puisi itu… terima kasih.



“Itu… kamu simpan?” tanya Joe, hampir tidak percaya.

“Aku simpan selama ini. Aku cuma gak tahu harus ngapain. Karena waktu aku siap… kamu udah berhenti menulis.”


---

Beberapa detik mereka hanya menatap. Lalu Wida berdiri.

“Aku harus pulang. Suamiku nunggu di mobil.”

Joe mengangguk."ok terimakasih waktunya"
 Tak ada rasa iri, hanya pelan-pelan… sebuah perpisahan yang akhirnya benar-benar bisa diterima.

“Wida,” panggil Joe sebelum Wida benar-benar pergi.

Wida menoleh.

“Kalau kamu masih suka dengerin radio… dengarkan malam ini.”

Wida tersenyum. “Insya Alloh Aku pasti dengar.”


---

Malam itu. Radio ASRI, 98.6 FM.

Suara penyiar tua, masih sama, walau lebih serak dari beberapa tahun lalu.

> “Salam dari J, untuk seseorang yang pernah duduk di barisan depan kelas 2B… dan menyimpan bait-bait cinta tanpa suara.
Katanya, dia tak menyesal tidak memiliki…
Karena bisa mencintai diam-diam saja, sudah cukup indah.”



> Request lagu: "Cinta Dalam Hati – Ungu"




---

Joe menulis puisi terakhir di buku yang dulu hampir ia bakar:

> Kita memang tak pernah menjadi satu,
tapi aku tetap bersyukur pernah mencintaimu.
Karena cinta yang tak sampai,
kadang justru yang paling murni.

__&------


---
2009 di surabaya

Joe kini tinggal sendiri dikamar kontrakan sederhana. Sehari-hari ia bekerja sebagai pedagang. Penghasilan g besar, tapi cukup untuk makan, beli kopi saset, dan sesekali mengirim puisi ke majalah atau koran

Rambutnya makin gondrong. Tapi kebiasaan memakai pakaian sesuka hati belum hilang. Kadang batik  dipasangkan dengan celana jeans sobek. Teman-teman sekitar sudah terbiasa.

Dan di malam hari, setelah pulang kerja semakin sepi dan dunia reda, Joe masih menulis.

Untuk siapa?
Dia sendiri pun kadang tak tahu.

Atau… dia pura-pura tak tahu.


---

> Di balik huruf-huruf yang kupilih dengan hati-hati,
masih ada satu nama yang selalu kusembunyikan rapi.
Bukan karena tak ingin disebut,
tapi karena tak ingin terluka sekali lagi.




---

Suatu sore saat santai, menikmati senja

Joe mengecek notifikasi di HP lamanya. Tiba-tiba satu SMS masuk.
Nomor tak dikenal.
Tapi namanya langsung membuat dadanya sesak.

> "Assalamu’alaikum, Joe. Ini Wida. Maaf kalau ganggu. Aku pengen baca sajak tulusanmu, Kalau boleh… aku pengen baca kumpulan puisimu. Yang dulu, yang lama, yang kamu simpan sendiri. Boleh?"



Joe terdiam lama.
Ia menatap layar kecil itu, seolah tak percaya.

Lalu dia membalas:

> "Wa’alaikumsalam, Wida. Buku itu nggak pernah dicetak. Hanya kutulis tangan. Tapi kalau kamu benar-benar ingin membacanya... Insyallah saya kasih. Buku itu hanya kuberikan ke orang yang paling mengerti kenapa aku menulis."




---

Seminggu kemudian.

Di sebuah kedaikecil joe dia menunggu.
Meja kayu tua dan segelas esteh, satu buku puisi bersampul coklat terikat tali kain lusuh.

Dan Wida datang.
Masih dengan senyum tenang dan jilbab sederhana. Kali ini lebih dewasa, lebih matang, tapi tetap membuat dada Joe sesak oleh kenangan.

Mereka tidak banyak bicara.
Joe menyerahkan buku itu.

Wida membuka lembar pertama.
Puisi yang dulu hanya ia dengar lewat radio, kini ada di hadapannya.

> Untuk kamu yang tak pernah sempat kubilang "aku cinta",
tapi kusebut dalam setiap bait dengan nama yang tidak pernah tertulis.



Wida tersenyum. Matanya berkaca.
“Terima kasih… sudah mencintaiku sediam itu, Joe.”

Joe menatapnya.
“Kamu cinta pertama yang tak pernah selesai.”


---

Mereka tak saling menyentuh. Tak ada pelukan. Tak ada janji.

Tapi hari itu, di kedai kecil itu—puisi-puisi Joe akhirnya sampai pada siapa yang ditujunya. Tak perlu diketik. Tak perlu disiarkan radio.

Hanya dua hati yang akhirnya tahu:
bahwa cinta memang tak harus memiliki, tapi layak dikenang.


---

Epilog 

Joe blm bisa menikah.
Dia terus menulis, kadang mengirim puisi ke komunitas sastra, kadang di majalah menulis puisi tentang langit, tentang angin, dan kadang... tentang seseorang yang tak pernah ia sebutkan namanya.

Wida membaca habis bukunya malam itu.
Dan ia tahu, tak semua kisah harus dituntaskan.
Karena ada cinta yang tak tumbuh untuk dimiliki, tapi cukup untuk menghidupi satu jiwa sepanjang usia.


---

PUISI TERAKHIR – di halaman paling akhir buku Joe:

> Namamu tak kutulis lagi di radio,
tapi kau tetap hadir di setiap spasi puisiku.
Karena cinta pertama,
bukan untuk dimiliki,
melainkan untuk dikenang dengan penuh syukur dan diam-diam.




Selesai 

Nb: mohon maaf bila ada kesalahan kata atau kesamaan cerita pribadi pembaca, Karana tulisan ini hanya karangan cerita 

Selasa, 29 Juli 2025

PUISI YANG TAK PERNAH TUNTAS

PUISI YANG TAK PERNAH TUNTAS

Bagian 1: Kelas 2B dan Puisi Diam-Diam

Langit pagi itu mendung, tapi kelas 2B tetap ramai seperti biasa. Tawa-tawa kecil dari Ahmad dan Phur mengisi pojok belakang, sementara Arin sedang sibuk mengomel karena Joe lagi-lagi datang dengan kaus oblong kelunturan dan jaket hoodie lusuh yang tampak tak pernah dicuci.

"Joe, ini sekolah, bukan studio seniman gila!" semprot Arin sambil menyodorkan sisir. “Minimal rapihin rambut, kek.”

Joe hanya nyengir dan duduk di bangkunya, membuka buku catatan usangnya. Ia tak banyak bicara, tapi tangannya lincah mencoretkan puisi. Di halaman itu, sudah hampir penuh dengan kata-kata tentang embun, waktu, dan diam.

Di seberang ruangan, Wida duduk bersama Sulis dan Rahayu. Ia sesekali melirik ke arah Joe, tapi buru-buru mengalihkan pandangan saat mata mereka hampir bertemu.

Wida adalah gadis yang tidak suka jadi pusat perhatian. Ia berhijab dengan gaya sederhana, sering memakai warna-warna lembut yang selaras dengan kepribadiannya. Namun entah mengapa, pesona tenangnya justru membuat banyak orang tertarik padanya—termasuk Joe.

Diam-diam, Joe selalu mencuri waktu untuk melihat Wida dari kejauhan. Bukan karena ia ingin jadi pengagum rahasia, tapi karena ia tahu, bahkan jika ia berani bicara, dunia mereka terlalu jauh untuk disatukan.


---

Waktu istirahat, mereka semua berkumpul di kantin belakang. Meja besar dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang saling bercanda.

Ahmad membuka topik, “Kalau disuruh milih, siapa cewek paling kalem di kelas ini?”

Phur menjawab cepat, “Wida. Udah jelas.”

Wida hanya tertawa kecil, sementara Sulis menimpali, “Kalem sih kalem, tapi tajam juga kadang. Jangan salah.”

Joe hanya mendengarkan, tak ikut bercanda. Tapi Arin menatapnya curiga. Ia sudah lama tahu. Dari puisi-puisi yang tak pernah menyebut nama, tapi jelas menggambarkan Wida.

“Joe, kamu suka Wida ya?” tanya Arin tiba-tiba, tanpa aba-aba.

Joe kaget. “Gila. Nggak ah.”

“Bohong. Aku baca puisimu tentang ‘cahaya lembut yang takut disentuh’. Itu Wida banget.”

“Arin...” Joe menunduk. “Kalau aku ngomong... dia pasti ilfeel.”

“Dan kalau kamu diam terus?” Arin menantang. “Kamu siap kehilangan?”

Joe menatap halaman catatannya yang terbuka. Di sana, puisi baru sedang ditulisnya.


---

> Ada jarak yang tak diukur langkah
Hanya dihitung oleh diam dan waktu
Aku melihatmu, tapi tak berani menyapa
Karena tahu, bahagiamu belum tentu tempatku


Bagian 2: Salah Paham dan Sore yang Bisu

Hari itu langit tidak lagi mendung. Matahari bersinar malu-malu di balik awan, seperti enggan menyinari terlalu terang—seperti perasaan yang ingin dipendam saja.

Kelas 2B sedang ribut karena persiapan pentas seni sekolah. Semua murid dibagi kelompok. Wida dan Sulis kebagian dekorasi, sementara Joe—secara mengejutkan—masuk tim dokumentasi. Arin langsung tertawa begitu tahu.

“Cocok sih. Biar kamu bisa motret Wida diam-diam pake kamera sekolah,” cibir Arin sambil menyenggol bahu Joe.

Joe hanya menghela napas. “Aku nggak sefrontal itu, Rin.”

Namun Arin benar. Tugas dokumentasi itu memberikan Joe satu hal yang selama ini hanya bisa ia lakukan dari jauh: melihat Wida lebih dekat, tanpa harus menyentuh dunianya.


---

Sore itu, mereka sedang menata ruang aula. Joe berdiri agak jauh, merekam kegiatan teman-temannya. Ia menangkap tawa Wida, wajah seriusnya saat mengecat kain latar, dan momen kecil ketika ia menyelipkan anak rambut ke balik hijabnya.

Tapi kemudian, tanpa sengaja, Joe mendengar pembicaraan yang membuat hatinya runtuh pelan-pelan.

“Menurut kamu, Wida bakal jadian sama siapa ya?” tanya Rahayu pada Sulis, cukup keras terdengar.

“Entahlah. Banyak yang suka dia.”

Wida tertawa kecil. “Aku sih nggak suka cowok yang aneh-aneh. Yang suka pakai baju nggak jelas, penyendiri, puitis lebay gitu. Nggak banget.”

Joe berdiri mematung. Ia tahu, itu bukan sekadar sindiran. Itu tentang dirinya.

Ia menunduk, mematikan kamera. Lalu pergi diam-diam ke sisi taman sekolah, tempat biasanya ia menulis.

Arin menyusul. Ia tahu wajah Joe yang sedang patah, bahkan tanpa Joe perlu bilang.

“Kamu denger?” tanya Arin pelan.

Joe mengangguk, “Aku kayaknya cuma cocok buat nulis tentang cinta, bukan menjalani.”


---

Hari-hari berikutnya Joe jadi lebih pendiam dari biasanya. Bahkan puisinya terasa dingin. Sulis sampai protes saat membaca catatan Joe di perpustakaan.

“Lho, puisimu akhir-akhir ini nggak ada rasanya, Jo.”

Joe hanya tersenyum kaku. “Kadang, rasa itu mati saat tahu kenyataan.”


---

Beberapa minggu kemudian, pentas seni selesai. Semua tim dapat penghargaan simbolik, termasuk dokumentasi. Saat namanya dipanggil, Joe berjalan ke depan dengan ekspresi kosong. Tapi Wida ikut bertepuk tangan dengan lembut, seperti tak tahu apa pun yang sedang berkecamuk dalam dada Joe.

Arin mendekat ke Wida saat acara bubar.

“Wid,” katanya tanpa basa-basi, “kamu tahu nggak, Joe itu suka kamu.”

Wida terdiam.

Arin melanjutkan, “Tapi dia denger waktu kamu bilang nggak suka cowok aneh-aneh. Dan dia yakin itu tentang dia.”

Wida memucat. “Aku... aku cuma bercanda, Rin. Maksudku bukan gitu.”

“Tapi itu cukup buat bikin dia menyerah.”

Wida menunduk, matanya mulai berkaca.


---

Malam itu, Joe duduk di meja belajarnya, menulis puisi yang tidak selesai-selesai.

Ia menulis, lalu mencoret. Menulis lagi, mencoret lagi.

Di halaman terakhir, hanya ada empat baris:

> Aku menulis tentangmu seperti menulis hujan
Tak berharap langit merespon
Cukup bagiku jadi basah oleh rasa
Yang tak pernah kau tahu, tak apa


Bagian 3: Langit yang Tak Pernah Bertanya

Musim ujian datang seperti badai kecil yang memaksa seluruh siswa kelas 2B menundukkan kepala pada tumpukan buku dan kertas latihan. Suasana yang biasanya ramai menjadi lebih sunyi. Hanya suara detak jam dan gesekan pensil yang terdengar.

Namun, bagi Joe, sepi itu terasa lebih dalam dari biasanya.

Sejak sore di aula itu, ia tak lagi berani menulis tentang Wida. Bahkan menatapnya pun tak ia lakukan. Ia duduk di pojok kelas, paling dekat dengan jendela, seolah berharap angin bisa membawa semua rasa pergi begitu saja.

Di sisi lain kelas, Wida mulai memperhatikan perubahan itu. Biasanya Joe akan melirik sesekali, atau setidaknya tersenyum kaku saat mereka saling tak sengaja bertemu pandang. Tapi kini, ia seperti bayangan yang tak punya nama.

“Dia menjauh ya,” kata Wida pelan saat duduk berdua dengan Sulis di bangku taman belakang sekolah.

Sulis menatapnya. “Siapa?”

“Joe.”

“Ya... dia kayaknya berubah sejak pentas seni.”

Wida terdiam. Ada getir yang tak bisa ia sebut. Ia menyesal, tapi ia tak tahu bagaimana memperbaikinya.


---

Di suatu sore, Wida nekat menghampiri Joe yang sedang duduk sendirian di taman belakang sekolah, buku puisinya terbuka tapi kosong.

“Boleh duduk?” tanya Wida hati-hati.

Joe kaget, tapi mengangguk pelan.

Mereka diam beberapa saat. Hanya suara dedaunan yang saling menyapa angin.

“Aku dengar kamu suka nulis puisi,” kata Wida akhirnya.

Joe menoleh sedikit. “Dulu.”

“Kenapa berhenti?”

“Kadang... puisi nggak bisa melindungi perasaan dari kenyataan.”

Wida menatapnya, lalu berkata pelan, “Aku minta maaf.”

Joe diam.

“Aku... aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Waktu itu aku cuma bercanda. Aku nggak tahu kalau kamu denger... dan ternyata itu menyakitkan.”

Joe menutup bukunya. “Wida, kamu nggak salah. Aku yang salah. Aku berharap terlalu banyak dari diamku sendiri.”

“Kalau aku bilang... aku juga pernah suka kamu, apa kamu percaya?”

Joe mematung. Kata-kata itu terdengar seperti hujan di tengah kemarau panjang. Tapi ia ragu. Ia takut itu hanya rasa kasihan.

“Sudah terlambat, kan?” tanya Joe lirih.

Wida tersenyum pahit. “Mungkin. Atau mungkin kita cuma salah waktu.”


---

Malam itu, Joe pulang dan membuka halaman kosong yang sama. Tapi kali ini, ia menulis tanpa ragu.

> Langit tak pernah bertanya pada awan kenapa ia menangis
Ia hanya diam, seperti aku menatapmu diam-diam
Jika kau pernah bertanya, mungkin aku akan menjawab
Tapi kini, cukup langit yang tahu semuanya

Bagian 4: Reuni dan Rahasia yang Terlambat

Tahun-tahun berlalu seperti daun-daun yang jatuh satu per satu, perlahan tapi pasti mengubah musim. Tak terasa, sudah lima tahun sejak mereka semua lulus dari SMA. Kelas 2B kini tinggal kenangan dalam arsip ingatan—tertata, tapi berdebu.

Sampai suatu hari, sebuah pesan masuk ke grup alumni:

"Reuni kecil-kecilan di sekolah lama, Sabtu depan. Teman-teman 2B wajib hadir, ya! :)"

Satu per satu memberi tanda setuju. Sulis masih bawel di grup. Ahmad dan Phur, kini gemar kirim stiker lucu. Arin masih tajam dan to the point. Dan Wida—masih sama: sederhana, tak banyak bicara, tapi ketika menulis "insyaAllah hadir", jantung Joe berdetak lebih cepat.


---

Hari reuni datang.

Sekolah itu masih berdiri dengan cat dinding yang mulai kusam. Tapi aroma kenangannya tak pudar. Lapangan tempat mereka main futsal, lorong kelas dengan suara sepatu bersahut-sahutan, dan taman belakang yang pernah jadi saksi percakapan-percakapan diam mereka... semuanya tetap sama.

Joe datang lebih dulu. Kali ini ia berpakaian rapi, meski masih dengan gaya nyeleneh khasnya—kemeja putih dilapis jaket cokelat tua yang terlihat seperti peninggalan seniman tua.

Ia membawa sebuah buku kecil: kumpulan puisinya sendiri, yang baru saja diterbitkan. Tapi tak ada satu pun judul yang menyebutkan nama Wida. Hanya satu yang jelas—puisi terakhir berjudul: “Yang Tak Pernah Tuntas.”


---

Suasana reuni hangat. Tawa bersahutan, foto-foto nostalgia memenuhi layar ponsel, dan cerita-cerita lucu mengalir deras.

Tapi Joe menunggu.

Sampai akhirnya, Wida datang.

Tetap berhijab, tetap sederhana, tetap memancarkan pesona yang sama.

“Joe,” sapa Wida pelan sambil tersenyum.

Joe hanya mengangguk. “Sudah lama, ya.”

Mereka duduk berdua di taman belakang sekolah. Tempat kenangan itu tertinggal, menunggu dituntaskan.

“Aku baca bukumu,” kata Wida, pelan.

Joe tersenyum. “Kamu tahu itu tentangmu?”

Wida menatap langit. “Kupikir iya. Dan meski tak tertulis, rasanya terasa.”

Hening sejenak.

“Joe, kenapa kamu nggak pernah bilang waktu itu?”

Joe menunduk. “Karena kamu bilang kamu nggak suka cowok aneh. Karena aku pikir, kalau aku jujur... aku bakal kehilangan bahkan kesempatan untuk melihatmu dari jauh.”

Wida tersenyum pahit. “Padahal aku cuma takut. Aku bilang begitu karena... aku nggak tahu harus bersikap seperti apa kalau tahu perasaanku dibalas. Aku juga menyukaimu, Joe. Tapi aku pengecut.”

Joe tertawa pelan. “Jadi kita sama-sama diam, ya?”

“Dan akhirnya... kehilangan.”

Angin sore meniup lembut daun-daun kenangan yang gugur di antara mereka.

Joe membuka bukunya, menunjukkan halaman terakhir.

> Dan jika waktu membawa kita kembali ke titik awal
Mungkin aku akan berani berkata
Bahwa kau pernah kucintai, dengan seluruh diam yang kupunya
Tapi cinta, tak harus dimiliki untuk bisa abadi



Wida membaca, lalu mengangguk. “Puisi yang akhirnya selesai, ya?”

Joe tersenyum. “Atau mungkin, memang harus selesai tanpa bersama.”


---

Mereka berdua berdiri. Tak saling genggam. Tak saling janji. Tapi saling tahu.

Bahwa ada cinta yang cukup hadir dalam kenangan, tanpa harus tinggal di kenyataan.


Bagian 5: Epilog – Surat di Halaman Terakhir

Beberapa minggu setelah reuni, hidup kembali berjalan seperti biasa. Semua orang kembali ke dunia masing-masing—kesibukan, pekerjaan, keluarga, dan waktu yang terus menggerus apa pun yang tak diikat dengan pasti.

Tapi Joe merasa ada sesuatu yang belum selesai.

Hingga suatu malam, ia membuka lagi buku puisinya yang mulai usang. Di halaman terakhir yang kosong, ia menulis sebuah surat. Bukan untuk diterbitkan. Bukan untuk dibacakan. Tapi untuk ditinggalkan.


---

Untuk Wida,
Yang pernah kusebut dalam diam-diam paling jujur

Aku tahu, waktu tak akan membawa kita ke titik yang sama lagi. Mungkin itu baik. Mungkin memang begitu cara semesta menjaga agar perasaan tidak berubah menjadi luka yang lebih dalam.

Tapi, Wid... kamu harus tahu satu hal:

Aku tidak pernah menyesal mencintaimu. Meski tak pernah utuh, meski tak pernah kau genggam.

Cinta yang tak diucapkan memang menyakitkan, tapi diam-diam... itu juga yang menyelamatkanku dari menjadi egois. Karena aku tak pernah ingin memaksamu tinggal di dalam cerita yang hanya aku tulis sendiri.

Kita pernah punya kesempatan, atau setidaknya ilusi tentangnya. Tapi aku bersyukur kita tidak memaksakan.

Karena akhirnya aku sadar, ada rasa yang lebih kuat dari cinta yang memiliki:
Rasa yang tetap setia, meski tahu tak akan pernah bisa bersama.

Terima kasih sudah jadi puisi paling indah dalam hidupku.
Meski tak pernah kubaca keras-keras, kamu selalu menjadi suara yang terdengar paling dalam di kepalaku.

Salam dari yang mencintaimu,
Tapi melepaskan dengan rela.

– Joe


---

Beberapa bulan kemudian, Wida menerima paket kecil di depan rumahnya. Tanpa nama pengirim.

Di dalamnya, hanya ada sebuah buku puisi dan secarik kertas bertuliskan tangan:

> “Jika suatu hari kamu merindukanku, buka halaman terakhir.”



Ia membukanya pelan. Menemukan surat itu.

Matanya basah.

Bukan karena patah, tapi karena memahami:
Bahwa cinta yang paling kuat bukan tentang bersama, tapi tentang tidak pergi... meski dalam bentuk yang lain.


---
Tamat...




Nb: mohon maaf bila ada kata atau tulisan yg kurang baik


Minggu, 27 Juli 2025

cerpen

Judul:“Langit di Meja Paling Belakang”
By: jspengemis

 Musim Hujan dan Senyuman Itu

Joe duduk di bangku paling belakang kelas 2B. Hujan mengetuk jendela, dan udara di ruang kelas lembap serta berbau tanah basah. Di hadapannya, seorang gadis bernama Wida tengah tertawa bersama teman-temannya.

Senyuman Wida, bagi Joe, bukan hanya indah—tapi seperti musim semi yang datang di tengah musim hujan. Hangat, tapi tak pernah bisa disentuh.

Joe menarik napas pelan, lalu menunduk, menatap kertas yang ia gambar. Di sana ada sketsa bunga kecil, dengan inisial W di ujung kelopaknya.

“Joe,” bisik amad, sahabatnya yang duduk di sebelah. “Lo kapan mau bilang?”

“Bilang apa?” tanya Joe tanpa menoleh.

Amad mendecak. “Jangan pura-pura. Lo suka Wida, kan?”

Joe diam. Matanya menatap jauh ke arah bangku depan, tempat Wida duduk. “Aku cuma… takut semua berubah kalau aku bilang.”


---

Surat yang Tak Pernah Sampai

Beberapa minggu kemudian, Joe menulis surat. Isinya bukan puisi. Bukan rayuan. Hanya kejujuran sederhana dari hati yang lama diam.

> “Wida,
Aku nggak berharap kamu membalas perasaan ini. Aku cuma ingin kamu tahu, bahwa setiap hariku jadi lebih terang karena melihat kamu tersenyum.
Terima kasih… karena udah jadi bagian dari hidupku, walau cuma dari jauh.”



Surat itu ia lipat rapi, diselipkan di dalam buku pelajaran yang akan ia kembalikan ke perpustakaan—rencananya, nanti sore, ia akan memberikan itu langsung. Tapi takdir punya rencana lain.

Di ruang kelas yang hampir kosong, Joe tak sengaja mendengar suara dari belakang rak buku. Suara yang amat dikenalnya.
...

Wida.

“…serius, Wid? Kamu tahu Joe suka kamu?” tanya Ani.

Wida tertawa kecil. “Kayaknya sih iya. Tapi… aku nggak bisa, An... Aku nggak pernah lihat dia lebih dari sekadar teman satu kelas. Lagi pula… dia semrawut, nggak nyambung sama aku.”

Joe membeku.

Tangannya yang menggenggam surat itu gemetar. Ia menatap kertas lusuh itu lama, lalu perlahan memasukkannya kembali ke tas.

Hari itu, hujan turun deras. Tapi Joe tak lagi menyukai suara hujan.


---

. Jarak yang Tak Pernah Diucapkan

Setelah hari itu, Joe berubah. Ia tetap tersenyum, tetap bercanda dengan teman-temannya, tetap mengikuti pelajaran dengan baik. Tapi ada yang hilang dari matanya.

Ia tak lagi menatap bangku depan.

Ia tak lagi menggambar bunga kecil di kertas.

Ia belajar mencintai dalam diam—dalam luka yang tak berdarah, dalam doa yang tak pernah terdengar.


---

 Tahun Berlalu, Tapi Luka Tetap

Empat tahun kemudian. Dunia berubah. Wida dan Joe sudah lulus. Mereka hidup di tempat berbeda. Jarang bertukar kabar.
paling sesekali tau dari teman

Tapi surat itu, yang dulu tak pernah sampai, masih disimpan Joe. Ditaruh di dalam buku kecil ditempat tidurnya. Kertasnya menguning, tapi isinya tetap sama.

“Saling Mencintai, Tapi Tak Saling Memiliki

Tahun berganti tahun, dan ada masanya reuni kelas
Singkat cerita Suasana reuni mulai sepi. Lampu-lampu kedai redup, hanya beberapa meja yang masih penuh tawa. Tapi di pojok ruangan, ada dua orang yang tenggelam dalam percakapan masa lalu yang tak pernah selesai.

Joe dan Wida duduk berhadapan. Gelas es teh, mereka hampir kosong, tapi tak satu pun dari mereka tergesa pulang.

“Aku suka kamu dulu, Wid,” kata Joe akhirnya, suaranya pelan tapi jelas.

Wida menatap mata Joe, dan tersenyum kecil. Ada genangan air di pelupuknya. “Aku tahu.”

“Dulu aku pengen bilang, tapi sebelum sempat... aku dengar kamu ngomong ke Ani kalau kamu nggak bisa nerima.”

Wida tertunduk, mengusap jemarinya yang gelisah.

“Aku ingat hari itu…” bisiknya. “Dan jujur, Jo… aku juga sebenarnya suka kamu. Tapi aku takut. Aku nggak ngerti apa yang aku rasain. Waktu itu aku pikir, kalau aku bilang iya ke kamu, semuanya bakal berubah. Aku takut kehilangan versi kamu yang aku kenal—yang diam-diam perhatian dari jauh.”

Joe tertawa pelan, meskipun sedikit  terlihat pucat. “Jadi kita… sama-sama suka? Tapi sama-sama diam?”

Wida mengangguk pelan, senyum getir di bibirnya.

“Lucu ya,” katanya. “Kita bisa duduk bareng sekarang dan bicara tentang semua ini… tapi bukan sebagai sepasang kekasih, hanya sebagai dua orang yang dulu pernah saling menunggu.”

Joe menatap langit-langit, menahan napas. “Kalau waktu bisa diulang…”

Wida memotongnya dengan lembut, “...aku nggak akan mengubah apa pun, Jo.”

“Kenapa?”

“Karena mungkin kita memang nggak ditakdirkan untuk jadi milik satu sama lain. Tapi kita ditakdirkan untuk saling menyentuh hidup satu sama lain, meski cuma sebentar.”

Joe terdiam.

Lalu ia berkata dengan lirih, “Cinta ternyata bukan soal memiliki, ya?”

Wida tersenyum, kali ini lebih dalam. Matanya berkaca-kaca. “Cinta… kadang cukup untuk dikenang. Untuk disimpan baik-baik dalam hati. Dan kalau suatu hari kamu merasa sendiri, ingat aja: ada seseorang yang dulu pernah diam-diam mencintaimu.”

Kamu sudah cukup berani. Kamu sudah cukup tulus. Cinta tidak harus selalu dibalas. Kadang, yang penting adalah pernah mencintai dengan jujur.”

Mereka saling menatap lama. Tak ada pelukan. Tak ada janji untuk kembali.

Hanya dua hati yang akhirnya saling memahami, meski harus melepaskan.


---

Tamat.

cerpen

Judul: Sebelum Terlambat

Di sudut kelas 2B, Joe duduk sambil mencoret-coret bukunya. Ia bukan sedang mencatat pelajaran, melainkan menggambar sesuatu yang hanya dia pahami—huruf W dengan bentuk hati kecil di sampingnya.

Sudah hampir dua bulan ia memendam perasaan pada Wida, gadis yang duduk dua baris di depannya. Wida pintar, ceria, dan punya senyum yang bisa membuat Joe lupa caranya berhitung.

"Joe, kamu lagi ngelamun ya?" tanya phur, sahabat sebangkunya, sambil menepuk bahunya.

"Hah? Nggak... cuma bosen," jawab Joe gugup, cepat-cepat menutup buku coretannya.

Phur terkekeh. "Udah lah, aku tahu kamu suka Wida."

Joe menoleh cepat. "Jangan bilang siapa-siapa ya!"

"Tenang, rahasia aman di gue. Tapi kamu kapan mau bilang ke dia?"

"Aku lagi nyari waktu yang pas," jawab Joe pelan. "Aku takut kalau dia nolak, nanti suasana kelas jadi canggung..."

Hari-hari berlalu, dan Joe masih belum punya keberanian. Sampai suatu siang, saat istirahat, ia tidak sengaja mendengar percakapan Wida dan teman dekatnya, Ani, di belakang kelas.

"Aku tahu kok Joe suka kamu, Wid," kata Ani.

Wida tersenyum tipis. "Iya, aku juga ngerasa gitu... tapi aku nggak bisa nerima, An."

Joe yang berdiri di balik pintu, merasa seperti disambar petir. Dadanya sesak, napasnya tercekat. Ia mundur pelan dan duduk di tangga belakang sekolah.

Tak lama, phur datang menyusul. "Bro... kamu denger ya?"

Joe hanya mengangguk, sambil mengusap dahi,Matanya menatap kosong.

"Yah... setidaknya kamu belum malu di depan dia," kata phur mencoba menghibur.

"Ya...Aku cuma nyesel... bukan karena ditolak. Tapi karena nggak sempat bilang," jawab Joe lirih.


---

Beberapa tahun kemudian, saat reuni kecil SMA...

Wida datang dengan senyum yang sama seperti dulu. Mereka sempat berbincang.

"Kamu dulu suka aku ya?" tanya Wida tiba-tiba, menatap Joe dengan pandangan hangat.

Joe terkejut. Ia hanya bisa tertawa kecil. "Ketahuan ya?"

Wida mengangguk. "Aku dulu bilang ke Ani aku nggak bisa nerima... tapi mungkin karena aku belum benar-benar kenal kamu."

"Haha... ya udah, masa lalu biar jadi masa lalu," kata Joe, meneguk es teh.

Wida tersenyum. "Iya, tapi kalau dulu kamu berani ngomong, mungkin ceritanya beda."

Joe diam sejenak. Ia tersenyum, tapi matanya sedikit redup.

"Ya... tapi setidaknya, sekarang kita bisa ngobrol tanpa rasa canggung."

Tamat

GB


Aku mengagumi mu,
Gadis berhijab yang menundukkan pandang,
Seolah dunia tak sanggup menyentuhmu,
Kecuali dengan doa yang diam-diam terucang.

Ada teduh di matamu,
Seperti langit senja yang memeluk rindu,
Aku tak berani mendekat,
Hanya bisu yang kupelihara dalam kalbu.

Hijabmu adalah cahaya,
Menutup lembut auramu yang suci,
Aku ingin menjadi hujan,
Yang menetes di hatimu, menyubur kasih tak terperi.

Andai aku berani berkata,
Bahwa tiap malam kupanjatkan doa,
Semoga Tuhan menjaga langkahmu,
Dan mempertemukan kita di takdir yang sama.

Kamu itu doa yang berjalan,
Gadis sederhana dengan hijab di kepala,
Tapi menyimpan lautan kekuatan.

Aku jatuh cinta,
Bukan pada rupa semata,
Tapi pada caramu memeluk dunia dengan iman.

Aku ingin menjadi lelaki,
Yang kau sebut dalam sujud malam.

Kau bidadari yang menutup pesona,
Dengan kain suci peneduh jiwa.
Dalam diamku kutitip rindu,
Menyelinap lirih di langit biru.

Tak terlukis kata pada wajahmu,
Sebab indahmu tak perlu pujian,
Ia adalah cahaya iman,
Yang menuntunku untuk setia berdoa.

Aku mengagumimu,
Gadis berhijab penyejuk kalbu.
Ada cahaya di senyummu,
Seperti doa yang tak pernah jemu.
Andai takdir mengizinkan,
Aku ingin menua bersamamu.


Sabtu, 26 Juli 2025

CERPEN: tak sampai


Bismillah 
Penulis selalu mengingatkan cerita ini hanya fiktif, bila ada kesamaan nama dan kejadian saya mohon maaf
___________


Judul Cerpen: Kasih Tak Sampai
Penulis : JS pengemis 

-----_______----

Langit senja di desa kecil itu memerah, seakan ikut merasakan sesak di dada Joe. Ia duduk di bangku taman dekat sekolah lamanya, tempat di mana ia dan Wida dulu sering menghabiskan waktu. Di tangannya ada secarik surat—kertas kusam yang sudah lusuh karena berulang kali diremas. Itu adalah surat cinta yang tak pernah berani ia serahkan.


---

Kenangan Masa SMA

“Joe, ayo cepat! Kamu lama banget kalau jalan!”
Suara riang itu membuat Joe tersenyum tanpa sadar. Ia memandang gadis di depannya, Wida, dengan tatapan yang tak pernah berani ia ungkapkan. Gadis itu, dengan seragam putih abu-abu dan jilbab sederhana, selalu menjadi pusat dunianya.

“Aku nggak lambat. Kamu aja yang jalan kayak dikejar hujan,” balas Joe dengan senyum tipis.

Wida tertawa lepas. “Kamu tuh, kalau ketawa jangan pelit, dong. Rasanya aku ngobrol sama tembok kalau kamu diem terus.”

Joe menghela napas pelan. Dalam hatinya ia selalu ingin berkata: Aku diem karena takut kalau aku bicara, semua perasaan ini bocor. Tapi, seperti biasa, ia memilih diam.


---

Obrolan

Suatu malam di kelas 3, mereka duduk di warung hik kecil dekat pasar. Lampu-lampu temaram dan bau uap wedang jahe yang baru diseduh membuat suasana terasa hangat.

“Joe, menurutmu cinta itu apa?” tanya Wida tiba-tiba, menatap langit malam yang penuh bintang.

Joe terdiam beberapa detik. “Cinta itu… mungkin ketika kita cuma pengen orang yang kita sayang bahagia. Bahkan kalau dia nggak sama kita.”

Wida memiringkan kepalanya, tersenyum samar. “Kamu kayaknya pernah jatuh cinta, ya?”

Joe hanya tersenyum hambar. “Mungkin.”

Kalau kamu tahu, Wid… cinta itu kamu, batinnya.


---

Setelah SMA

Waktu berjalan cepat. Mereka berdua lulus. Wida bekerja di perusahan bonafit sedangkan Joe tinggal di desa kecil, bekerja di sawah. Mereka masih saling mengirim pesan, tapi perlahan percakapan itu semakin jarang.

Hingga suatu sore, sebuah sms masuk di ponsel Joe.

> “Joe, aku mau kasih kabar. Aku dilamar seseorang… dan aku terima.”



Joe membaca pesan itu berulang-ulang, seakan hatinya disayat. Jemarinya gemetar saat membalas:

> “Selamat, Wida. Aku doakan kamu bahagia.”




---

Malam Sebelum Pernikahan

Joe duduk di kamarnya, menulis surat dengan tangan yang bergetar. Dalam surat itu, ia menulis semua rasa yang selama ini ia simpan:

> “Wida, mungkin kamu nggak pernah tahu, tapi aku mencintaimu sejak pertama kali kamu tersenyum padaku. Aku nggak pernah bisa berkata, karena aku takut merusak semua. Sekarang, aku cuma ingin kamu bahagia. Meskipun bukan aku yang di sampingmu.”



Air mata Joe jatuh membasahi kertas. Ia tidak pernah mengirimkan surat itu. Malam itu ia pergi ke taman dekat sekolah, dan meletakkan surat itu di bangku tempat mereka dulu suka bercanda.


---

Hari Pernikahan

Hari itu cerah, secerah senyum Wida di pelaminan. Joe datang, tapi hanya berdiri di luar gerbang. Dari jauh ia melihat Wida, mengenakan gaun putih dan senyum yang selalu ia rindukan.

“Selamat, Wid…” bisik Joe.

Air mata jatuh di pipinya. Tanpa ada yang tahu, ia membalikkan badan dan berjalan pergi.

Di tangannya, surat itu masih ada—tak pernah dibaca Wida. Dan mungkin, tak akan pernah.


---

Lanjut part berikutnya 
Masih dalam satu kisah

CERPEN: salam dari Radio

Bismillah 
Mohon maaf kepada pembaca, apabila ada kesamaan nama, tempat, atau peristiwa dengan pembaca, karena cerita ini hanya fiktif
---------------------------------------


Cerpen: 
Judul : Salam dari Radio ASRI
Karya : JS pengemis

Joe duduk di bangku paling belakang kelas 3 IPA SMA Muhammadiyah. Ia dikenal sebagai siswa yang tenang, tapi mudah diajak bercanda. Setiap pagi ia datang lebih awal, hanya untuk melihat sosok gadis yang diam-diam mengisi ruang hatinya — WIDA.

WIDA, siswi kelas 3 IPA juga, ia selalu tampil sederhana dengan hijab Nya. Senyumnya menenangkan, suaranya lembut, dan tutur katanya sopan. Joe sering melihat Wida saat di kantin atau saat pulang sekolah. Ia selalu ingin menyapa, tapi keberanian seakan terhisap setiap kali mata mereka hampir bertemu.


---

Raka dan Radio ASRI

Setiap malam Minggu, Joe punya kebiasaan unik: ia mendengarkan Radio ASRI , stasiun radio lokal yang terkenal dengan acara “Salam Musik Malam.” Di acara itu, siapa saja bisa mengirim salam, curhat, atau Kirim puisi cinta.

Joe sudah menjadi pendengar setia. Ia sering menulis puisi di buku catatan kecil, biasanya ia mengirim puisi lewat pos ke radio itu, tp entah mengapa ia mencoba memberanikan diri datang ke WARTEL (Waung telf) lalu ke menelepon radio itu. Suaranya agak bergetar setiap kali si penyiar bertanya,
“Salamnya untuk siapa, Mas?”

Joe selalu menjawab,
“Untuk seorang gadis berhijab di SMA Muhammadiyah kelas 3 IPA. Dia mungkin tak tahu aku siapa, tapi semoga dia mendengar.”

Lalu ia membaca puisi singkat ciptaannya:
“Ada doa di setiap detik langkahmu,
Ada rindu di balik diamku.
Jika kau dengar lagu ini,
Ketahuilah… aku sedang memikirkanmu.”


---

Bisikan Rahasia

Pagi berikutnya, di kantin, Joe mendengar teman-teman Wida bicara sambil tertawa.
“Wida, kemarin kamu denger nggak? Ada salam di radio untuk cewek SMA Muhammadiyah klas 3Ipa, puitis banget, loh!”

Wida tersenyum kecil. “Iya, aku dengar. Romantis banget ya, kira-kira siapa, ya?” katanya sambil memegang gelas es teh.

Joe yang duduk tidak jauh dari mereka hanya menunduk. Ada rasa bahagia karena wida mendengar, tapi ada juga rasa getir. Andai saja aku berani…


---

Pertemuan di Perpustakaan

Suatu hari, tanpa sengaja joe bertemu wida di perpustakaan sekolah. Wida sedang mencari buku pelajaran kimia.
“Hai joe??” sapa Wida dengan ramah.
Joe kaget, wajahnya memerah. “I-iya… Ada yang bisa kubantu?”
“Eh, kamu tau g buku paket kimia yg pak guru tadi pakai, aku g bingung ? Aku lagi pusing nih sama soal ini,” kata wida sambil menunjuk catatannya.

Momen itu seperti hadiah dari langit. Mereka duduk di meja baca, joe menjelaskan pelajaran dengan hati-hati, berusaha menutupi rasa gugupnya.
Saat wida mengucapkan, “Makasih ya, kamu baik banget,” joe merasa jantungnya meledak.

Tapi bahkan setelah momen itu, joe tetap tak berani mengungkapkan isi hatinya. Ia merasa gadis sebaik wida mungkin terlalu indah untuk disandingkan dengan dirinya.


---

Salam Terakhir

Waktu berlalu cepat. Hari kelulusan SMA tiba. Semua siswa sibuk menulis pesan di seragam, dan merayakan kenangan. Joe melihat wida di kejauhan, tertawa bersama teman-temannya. Ada rasa sesak di dada.

Malam itu, joe kembali menelepon Radio ASRI. Suaranya lebih bergetar dari biasanya.
“Ini salam terakhir dari aku… untuk seorang gadis berhijab di SMA Muhammadiyah 3 Klas ipa. Aku nggak pernah berani bicara langsung, tapi lewat radio ini aku ingin bilang: terima kasih sudah menjadi cahaya di masa SMA-ku. Semoga kau bahagia, di mana pun berada.”

Untuk yang siar aku request Lagu “Kisah Tak Sampai” 
Dan lagupun mengalun setelah itu. Joe menutup telepon dengan mata berkaca-kaca.


---

Ending 

Bertahun-tahun kemudian, Joe duduk di tepi sungai, dia sudah merantau kesana kemari hingga sumatra. Ia tak pernah tahu bagaimana kabar wida. Kadang ia bertanya-tanya, apakah wida pernah sadar bahwa semua salam di radio dulu datang dari dirinya?

Namun, dalam hati joe, cinta itu tetap menjadi cerita paling indah — meski hanya hidup dalam diam, dan tak pernah sampai.


Part  berikutnya insyaallah masih



---